Perilaku Suami-Istri yang Tidak Pantas Tapi Dibolehkan Syariat

perilaku Suami-Istri yang tidak pantas

Pecihitam.org – Fiqih dalam Islam bertujuan untuk mengatur berbagai aspek kehidupan manusia agar dapat berjalan sesuai dengan Syariat agama. Baik untuk kehidupan pribadi maupun kehidupan sosial. Salah satunya adalah terkait dengan kehidupan rumah tangga. Tahukah anda bahwa ada perilaku Suami-Istri yang tidak pantas dilakukan namun ternyata dibolehkan syariat Islam?

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Di antara perilaku Suami-Istri yang Tidak Pantas Namun Dibolehkan Syariat adalah sebagai berikut:

1. Saat suami tidak sanggup menafkahi istri dan anak-anaknya dengan baik, entah sebab ia belum mempunyai pekerjaan yang layak, atau tertimpa musibah PHK, maka istri dalam hal ini boleh meminta cerai darinya. Tentunya, meminta cerai dari suami dalam kasus ini adalah perkara Syar’i, akan tetapi Tidak Patut tau tidak pantas. Mengapa?

Karena pada prinsipnya rumah tangga itu dibangun untuk menciptakan ‘sakinah’ (ketentraman/kenyamanan). Dan ‘sakinah’ akan tercipta saat suami-istri saling mengokohkan di saat yang lain rapuh. Saling menopang di saat yang lain terpuruk. Bukan meninggalkan di saat pasangannya tertimpa musibah.

2. Selain hal tersebut, adapula hal lain yang merupakan perilaku Suami-Istri yang Tidak pantas namun dibolehkan syariat, yaitu Poligami diam-diam. Dalam kasus suami berpoligami diam-diam, tanpa sebelumnya mengedukasi istri, tanpa sedikitpun meminta pengertiannya. Poligaminya tetap sah, walau tanpa seizin istri pertamanya. Poligami diam-diam itu memang masih syar’i, namun tentunya perilaku tersebut tapi tidaklah pantas. Mengapa?

Baca Juga:  Amalan - Amalan Sunnah di Bulan Muharram yang Baik untuk Dikerjakan

Karena pernikahan itu dilangsungkan untuk menciptakan ‘mawaddah’ (penuh cinta dan kasih sayang). Bagaimana mungkin mencapai ‘mawaddah’ jika salah satunya merasa dikhianati.

3. Hal lain lagi sebagaimana yang kita sering temui juga, yaitu di mana istri tidak mengerjakan pekerjaan rumah layaknya istri pada umumnya.

Perlu kita tahu bahwa mayoritas Ulama Fiqih mengatakan istri tidaklah wajib mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga. Jika suami pulang kerja, dan rumah berantakan, maka suami tidak boleh memaksa jika istri menolak untuk membereskannya. Penolakan istri untuk membereskan rumah itu perkara Syar’i, akan tetapi itu tidak Patut dan tidak pantas. Mengapa?

Karena rumah tangga dibangun agar bisa memperoleh “Rahmah” (rahmat, ridha, karunia dan belas kasih dari Allah). Bagaimana bisa mudah memperoleh ridha dari Allah, jika tidak gemar mencari ridha dari suaminya.

4. Selanjutnya, di dalam Fiqih, seorang suami boleh ‘menghukum’ isterinya jika nusyuz, dengan tingkatan yang diatur dalam QS. An-Nisa; 34. Yakni dengan Nasehat atau Teguran.

Baca Juga:  Makna Khusnul Khotimah, Tanda-tanda, Serta Doa Lengkap dan Artinya

Jika itu tidak ‘mempan’, maka boleh dengan pisah tempat tidur. Jika ini tidak ‘mempan’ juga, maka boleh dengan pukulan yang tidak memberi rasa sakit sedikitpun. Jika suami menegur atau bahkan memukul istri yang sedang nusyuz di depan umum, tentunya hal tersebut adalah Syar’i, namun tidak pantas. Mengapa?

Karena itu akan membuat istrinya malu, dan menjatuhkan kehormatannya. Padahal, kehormatan istri adalah penopang terhadap kemuliaan suami.

5. Terakhir sebagaimana dijelaskan pula dalam Ilmu Fiqih, bahwa seorang Istri tidak wajib mengurus dan memperhatikan keluarga suaminya. Termasuk ibu mertua dan ipar-nya. Sebab bagi istri, kewajiban intinya adalah melayani dan mentaati suaminya. Bukan keluarga suaminya.

Jadi, jika seorang istri enggan mengurus mertuanya yang sakit, itu memang hak yang Syar’i, tapi tentunya hal itu sangatlah tidak Patut dan sangat tidak pantas. Mengapa?

Karena pada dasarnya sebuah rumah tangga itu dibentuk dengan azas “mu’asyarah bil ma’ruf”. Dan itu diwujudkan dengan saling memperlakukan diri dan keluarga masing-masing dengan baik.

Maka, dapat dikatakan bahwa slogan “Yang Penting Syar’i” ternyata tidaklah cukup, jika tidak dibarengi dengan Akhlak Mulia. Karena kita tidak hanya diperintahkan untuk menjaga hubungan baik dengan Allah, namun juga dengan sesama manusia.

Baca Juga:  Mengapa Allah Mengutus Nabi dan Rasul, Bukankah Kita Juga Tahu Baik dan Buruk?

اَلرَّاحِمُوْنَ يَرْحَمُهُمُ الرَّحْمنُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى اِرْحَمُوْا مَنْ فِي الاَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِي السَّمَآءِ

Para penyayang itu akan disayangi oleh Yang Maha Penyayang Yang Maha Suci lagi Maha Tinggi. Sayangilah makhluk yang ada di bumi, niscaya yang ada di langit akan menyayangi kalian. [HR. Abu Daud dan Turmudzi]

الرَّاحِمُونَ يَرْحَمُهُمُ الرَّحْمَنُ ارْحَمُوا أهل الأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ أهل السَّمَاء

Orang-orang yang penyayang niscaya akan disayangi pula oleh ar-Rahman (Allah). Maka sayangilah penduduk bumi niscaya penghuni langit pun akan menyayangi kalian. [HR. Ahmad]

مَنْ لَا يَرْحَمْ مَنْ فِي الْاَرْضِ لَا يَرْحَمْهُ مَنْ فِي السَّمَاءِ

Barangsiapa tidak menyayangi penghuni bumi, maka ia tidak akan disayang oleh penghuni langit. (HR. at-Thabrani)

Wallahu A’lam Bishshawab.

M Resky S