Politik Kebangsaan ala Nahdlatul Ulama; NKRI Harga Mati!

Politik Kebangsaan ala Nahdlatul Ulama; NKRI Harga Mati!

PeciHitam.org – Simpangan politik di Nusantara dapat terbagi kedalam 3 bentuk, yakni politik praktis, politik infiltrasi dan politik kebangsaan. Tiga bentuk politik dalam aplikasinya sangat berbeda antar satu dengan lainnya. Jika politik praktis, ia mengindikasikan kekuasaan sebagai tujuan utama.

Dalam politik infiltrasi menunjukan adanya pembauran kedalam sistem yang sesungguhnya tidak benar-benar diterima oleh golongan ini. Tujuan utama politik infiltrasi adalah sedikit demi sedikit menggeser, kalau tidak pantas dikatakan menggerogoti, sistem berbangsa dan bernegara hasil kesepakatan bersama.

Sedangkan politik kebangsaan adalah konsep berpolitik hanya sebagai ‘ALAT’ untuk memperjuangkan kesejahteraan rakyat. Bukan hanya melalui media ‘Kursi Kekuasaan’, karena kekuasaan tidak menjadi tujuan utama.

Apa itu Politik Kebangsaan?

Alur pemikiran politik kebangsaan menitik beratkan kepada pola perdamaian diantara elemen bangsa yang beraneka ragam suku, budaya dan rasnya. Ukhuwah (Wathaniyah, Insaniyah, Islamiyah) atau persaudaraan menjadi kunci utama dalam mengembangkan kosep politik kebangsaan.

Dengan tidak memandang berbeda kepada semua elemen bangsa dan Negara, maka akan memunculkan rasa empati dan simpati ketika sesama saudara mendapat perlakuan tidak adil atau diskriminatif.

Dalam pandangan KH Muchit Muzadi, politik kebangsaan dimaknai sebagai tanggung jawab elemen bangsa dalam menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) secara universal.

Baca Juga:  Pesan Pemilu dari Gus Mus: Kalau Kalah Legowo, Kalau Menang Tak Euforia Berlebihan

Keutuhan bangsa dan Negara akan meniscayakan adanya persatuan, menihilkan separatisme, menjauhkan dari kehancuran dan disintegrasi dalam satu komitmen tunggal, Pancasila.

Menjaga Pancasila adalah sebuah amanah warisan pasa Ulama Nusantara dan Pejuang kemerdekaan, karena Pancasila adalah hasil musyawarah kesepakatan agung.

Kesepakatan agung bernama Pancasila merupakan Konsensus yang harus dijaga sebagai aset pemersatu bangsa. Menjadikan Politik kebangsaan sebagai jalan utama perjuangan di Nusantara adalah menjadikan kepentingan persatuan, kedamaian menjadi nilai tertinggi dalam perjuangan. Kekuasaan adalah remah yang tidak harus dipertahankan mati-matian.

Komitmen NU dalam Politik Kebangsaan

Jalan politik kebangsaan adalah jalan sunyi yang ditempuh oleh Nahdlatul Ulama, karena disana hanya ada pengabdiann tanpa balas jasa, bahkan terkandang dihina. Berjuang untuk menjaga keutuhan NKRI sering berbuah cacian dari sebagian golongan yang menganut politik infiltrasi.

Disatu sisi, menjalankan politik kebangsaan hanya sering dipandang sebagai monumen penjaga laiknya patung ‘dwarapala’ yang terdapat didepan rumah.

Terlebih diadukan dengan politik praktis yang selalu mencari keamanan dalam jabatan dengan mempertaruhkan apa saja dalam kampanye. Penganut politik praktis tidak akan segan mempergunkan isu-isu sensitif untuk meraih kemenangan dalam pemilihan umum.

Bahkan isu SARA tidak segan digelindingkan guna meraih suara dari sentimen keagamaan, suku dan ras yang berbeda. Dan hal tersebut sangat dihindari Nahdlatul Ulama setidaknya sejak Muktamar Situbondo pada tahun 1984. Bahwa Nahdlatul Ulama secara resmi mundur dari percaturan Politik Praktis.

Baca Juga:  TGH. Muhammad Zainul Majdi: Wacana Khilafah Tidak Relevan di Indonesia

Kejadian ini terkenal dengan Muktamar kembali ke Khittah 1926, cita-cita adiluhung guna mengawal bangsa Indonesia menjadi negara yang adil, mensejahterakan rakyat berlandaskan pancasila.

Pun keluar dari politik praktis tidak serta merta mengebiri hak politik individu di bawah naungan NU. Individu yang berkompeten di Nahdlatul Ulama dipersilahkan untuk menggunakan hak konstitusionalnya dalam politik.

Namun arus utama NU sebagai organisasi Ijtima’iyyah (sosial-kemasyarakatan) adalah mengawal berjalannya Negara sesuai PBNU, Pancasila Bhineka Tunggal Ika dan Undang-undang Dasar 1945 sebagai rel utama. Slogan utama dalam kerangka menjaga ‘PBNU’ adalah tagline ‘NKRI Harga Mati’ yang menjadi nafas Nahdlatul Ulama.

Bukti bahwa politik kebangsaan NU adalah jalan sepi dapat ditelusuri dalam fenomena penerimaan NU tidak menjadi pilihan utama dalam mengisi pos-pos jabatan Negara. NU tetap berdiri sebagai ormas yang memperjuangkan Politik Kebangsaan semata-mata atas wasiat para Ulama Nusantara dan memperhatikan ayat Allah SWT,

لا خَيْرَ فِي كَثِيرٍ مِنْ نَجْوَاهُمْ إِلا مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلاحٍ بَيْنَ النَّاسِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ مَرْضَاةِ اللَّهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا 

Baca Juga:  Betulkah Pilpres 2019 Pertarungan Pro Komunis dan Pro Khilafah? Ini Pendapat Gus Nadir

Artinya; “Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma’ruf, atau Mengadakan perdamaian di antara manusia. dan Barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keredhaan Allah, Maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar” (Qs. An-Nisaa’: 114)

Nilai Politik Kebangsaan merupakan jalan perjuangan yang  tidak dikuantitatifkan dengan jabatan atau remah dunia. Bagi NU menjaga NKRI adalah amanah Ulama, dan kewajiban sebagai Muslim beriman. Ash-Shawabu Minallah

Mohammad Mufid Muwaffaq