Uzlah, Jalan Sunyi Munuju Tuhan bagi Para Sufi

uzlah

Pecihitam.org– Uzlah merupakan salah satu tema sentral dalam kajian ilmu Tasawuf bagi mereka yang meniti jalan menuju Ilahi.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Salah satu kitab dasar yang menganjurkan ‘uzlah dan penjelasan tentang keutamaannya adalah kitab Bidayatul Hidayah karya Imam Al-Ghazali yang menjadi pelajaran wajib di dunia pendidikan pesantren di Indonesia.

Tulisan ini akan menjelaskan tentang hakikat ‘uzlah beserta hikmah atau faidahnya terlebih di saat zaman penuh fitnah.

Daftar Pembahasan:

Pengertian Uzlah

Istilah ‘uzlah, secara etimologi, berarti menyendiri, menyepi, menghindari, memisahkan atau mengasingkan diri.

Perkataan ‘uzlah berasal dari kata azala-ya’zilu-‘uzlah yang berarti menghindar dari sesuatu atau meninggalkan sesuatu.

Kata ‘uzlah juga berarti bercerai-berainya suatu kelompok, benda atau manusia, yang asalnya merupakan satu kesatuan. Selain itu, uzlah juga berarti orang yang tidak
memiliki senjata.

Uzlah dalam Tasawuf dan Filsafat

Kata uzlah lazim dipergunakan dalam
tasawuf dan filsafat. Dalam tasawuf, uzlah dipahami sebagai kegiatan menyisihkan diri dari aneka ragam pergaulan duniawi untuk kemudian melakukan latihan keruhanian dengan puasa, zikir, salat, dan membaca Al-Qur’an, baik secara individual maupun dengan bimbingan seorang syaikh atau mursyid.

Demikian juga dalam filsafat, uzlah berarti mengasingkan diri, namun lebih menekankan pada usaha manusia untuk mencapai nalar yang rasional.

Filsafat ini dikembangkan Ibn Bajjah dengan filsafat mutawahhid (menyendiri)-nya.

Pentingnya Uzlah bagi Para Sufi

Uzlah biasa dilakukan kaum sufi. Mereka beruzlah untuk mensucikan dirinya. Uzlah dilakukan para sufi agar konsentrasi ibadahnya tidak terganggu oleh seluk-beluk persoalan duniawi.

Prinsip dasar para sufi dalam melakukan uzlah bahwa kemewahan akan membutakan matahati manusia untuk mengingat Allah SWT yang Maha Suci, dan usaha untuk mendekatkan diri kepada-Nya sulit sekali tercapai bila masih terikat dengan materi dan pesona kehidupan dunia.

Dalam kegiatan sehari-hari, seorang sufi haruslah membatasi pembicaraan, menjaga dan menekan perasaan dari pembicaraan yang tidak berarti.

Sebab, menurut para sufi, mengumbar
pembicaraan dikhawatirkan dapat menimbulkan dosa. Pembicaraan yang tidak ada artinya sering hanya menimbulkan penyakit-penyakit
hati.

Kaum sufi menganggap lebih baik diam
daripada berbicara yang tidak berguna. Mereka berpegang teguh pada sabda Nabi berikut:

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِا اللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًل أَوْ لِيَصْمُتْ

“Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah ia berbicara dengan baik atau lebih baik diam saja” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam ajaran tarekat, seorang murid dianjurkan untuk mengasingkan diri dari keramaian masyarakat umum, karena di tempat sunyi dan terpencil itu dimungkinkan seorang sufi tidak terganggu dalam ibadahnya.

Selain itu, uzlah sangat kondusif bagi terciptanya konsentrasi dalam dzikr Allah (mengingat Allah). Konsentrasi dzikr Allah biasanya sangat sulit ditemukan di lingkungan masyarakat yang ramai.

Baca Juga:  Badiuzzaman Said Nursi, Tokoh Pembaharu Islam Turki

Apakah Uzlah Wajib atau Sekadar Anjuran?

Dalam ajaran Islam, tidak ada kewajiban
untuk melakukan uzlah. Semua orang tidak wajib melakukan uzlah atau menyingkir dari keramaian.

Seandainya seseorang tidak mampu
untuk berkonsentrasi karena banyaknya gangguan di sekitarnya, barulah ia boleh beruzlah meninggalkan tempat kediamannya.

Hal ini terutama bagi orang yang sudah tidak membutuhkan berhubungan dengan orang lain, kecuali dalam waktu tertentu, seperti shalat Jumat, shalat berjamaah, ibadah haji, salat Idul Fitri dan Idul Adha, atau keperluan lain.

Dengan demikian, uzlah mungkin diperlukan bagi orang yang tidak bisa menghindarkan diri dari pergaulan negatif.

Namun lebih baik tidak mengasingkan diri dari masyarakat ramai, sehingga
tidak perlu uzlah.

Bagi orang yang peranannya sangat dibutuhkan orang banyak, seperti seorang guru yang setiap hari harus mengajarkan ilmunya kepada para murid, seorang mubaligh yang setiap hari harus menyiarkan dakwah Islamiyah, seorang pekerja bangunan, dokter dan berbagai profesi yang sangat dibutuhkan masyarakat, tidak boleh beruzlah.

Bila masyarakat mengalami kerusakan
akhlak dan kemaksiatan merajalela, sedangkan para ulama diam saja atau meninggalkan mereka untuk beruzlah, maka akan turun azab dari Allah.

Dalam keadaan seperti ini, para ulama dituntut untuk memberikan bimbingan kepada semua lapisan masyarakat melalui pergaulan yang baik dan sikap yang menarik hati agar masyarakat mengikuti jejak kebaikan yang dicontohkannya.

Dalam tasawuf, uzlah dilakukan semata-mata untuk membatasi dua hal, nafsu keduniaan, dan jalan Tuhan.

Orang yang beruzlah menghindarkan diri dari nafsu-nafsu keduniaan dalam rangka mencari kepentingan akhirat.

Orang beruzlah karena lingkungannya dalam kehidupan sehari-hari merusak akhlak dan menggoyahkan sendi-sendi keimanan serta menutup ketajaman matahati.

Dengan beruzlah, berarti seseorang berusaha melepaskan keinginan dan nafsu-nafsu duniawi dalam rangka mencari jalan Tuhan.

Mengingat masalah tersebut di atas, anjuran uzlah tidaklah sama antara murid yang satu dengan murid yang lainnya.

Dalam hal ini, Abu Bakar Atjeh mengatakan, “Dalam uzlah tingkat murid tidaklah sama. Ada yang tidak menghendaki pergaulan dalam ilmu. Ada yang menganggap berfaidah dalam tindakan dan hukum.

Dalam pengertian pertama, uzlah itu cukup dilakukan dengan mengurangi pergaulan, tetapi tidak meninggalkan pekerjaan bersama, seperti salat Jumat, salat berjamaah, shalat dua hari raya, ibadah haji, menghadiri pengajian, melakukan suatu hubungan penghidupan, yang kesemuanya tidak boleh dihindari.

Hikmah Uzlah bagi Para Sufi

Uzlah mempunyai hikmah yang besar dalam perjalanan kehidupan seseorang, terutama kehidupan sufi.

Baca Juga:  Berikut Definisi dan Cara Mujahadah dalam Ilmu Tasawuf (Bagian I)

Al Ghazali (w. 505 H/1111 M) menganggap bahwa uzlah mempunyai beberapa faidah, seperti mensucikan diri, membuka matahati hingga mereka mampu membuka rahasia yang dijadikan Allah tentang urusan dunia dan akhirat, alam langit dan bumi yang tak terlihat oleh mata manusia.

Membuat Khusyuk

Dengan beruzlah, seseorang akan lebih
terkonsentrasi menggunakan hatinya untuk mengingat Allah melalui ucapan-ucapan zikir.

Apalagi jika uzlah pada tempat yang terpisah dengan pergaulan kehidupan sosial sehari-hari, segala ingatan hanya untuk mengingat Allah.

Zikir yang dilakukan pada saat uzlah diharapkan berlangsung secara berkesinambungan supaya mendapatkan petunjuk, sehingga dapat menyaksikan rahasia-rahasia alam.

Menyucikan Jiwa

Menurut para sufi, usia manusia itu akan kehilangan dirinya secara hakiki karena nafsu dunia, nafsu syahwat, iri, dengki, congkak, sombong, dan lain sebagainya.

Dengan demikian, jiwanya semakin lama semakin jauh dari kebenaran dan keutamaan, meskipun mendapatkan ajaran syariah sejak kecil, namun tidak
menutup kemungkinan akan terkena pengaruh nafsu-nafsu duniawi yang bisa melenyapkan cahaya iman di dadanya.

Untuk kembali pada jalan akhirat, atau jalan yang hakiki, manusia harus melakukan penyucian jiwa, salah satunya dengan uzlah, zikir, wirid, dan berdoa dalam keadaan lapar, serta menderita, penuh konsentrasi.

Terhindar dari Maksiat

Menurut para sufi, dengan ber’uzlah, seseorang akan terlepas dari maksiat dan nafsu keduniaan. Dengan maksiat, hati yang semula bening akan menjadi kotor, dan jiwa yang mengenal Allah, perlahan-lahan menjadi lupa, dan pada akhirnya akan menjadi merasa berat meninggalkan maksiat.

Uzlah dapat melepaskan seorang sufi dari kemaksiatan, sebab dalam uzlah ada aturan-aturan tertentu, misalnya tidak boleh berbicara, tidak boleh melakukan gerakan badan atau amalan-amalan yang tidak diperlukan dalam beberapa ibadah. Semua yang dilakukan dalam uzlah
semata-mata merupakan ibadah.

Semua orang mengetahui bahwa banyak berbicara atau tidak menjaga pembicaraan yang menyebabkan seseorang mudah terjebak pada perbuatan mengumpat, menjelek-jelekan, membuka rahasia orang lain.

Orang yang tidak dapat menahan pembicaraan dengan mudah, akan mengeluarkan kata-kata yang jelek.

Dalam uzlah, tidak mungkin seseorang banyak berbicara, karena hanya berteman dengan kesunyian dan keheningan. Dalam keheningan, seorang yang beruzlah hanya melakukan pujian-pujian, wirid, doa, dan ibadah yang dipersembahkan hanya kepada Allah SWT.

Dalam uzlah, tidak mungkin seseorang berbuat maksiat, sebab tidak ada teman yang mempengaruhi dan merespon dirinya. Berbeda dengan situasi dalam pergaulan dengan sesama masyarakat, ada yang mempengaruhi dan ada yang dipengaruhi.

Menurut teori psikologi, manusia menjadi putih jika lingkungannya putih dan menjadi hitam jika lingkungannya pun hitam.

Tegasnya, manusia itu bergantung pada manusia lain. Itulah sebabnya, jika manusia ingin mencapai kesempurnaan dalam tarekat, maka harus melakukan uzlah agar tidak terpengaruh oleh sifat, akhlak, dan budaya yang merusak iman atau jalan keakhiratan.

Baca Juga:  Belajar Tasawuf: Falsafah dari Pohon Tebu (manTeb ing kalBu)

Sebab sudah menjadi sifat manusia, jika orang lain melakukan sesuatu, sedang orang itu setiap hari berkumpul dengannya, tentu saja lambat laun akan mempengaruhinya untuk ikut melakukan.

Jauh dari Pengaruh Negatif

Tujuan uzlah adalah ingin menjauhkan diri dari pengaruh negatif dalam pergaulan. Dengan beruzlah, seseorang akan memperoleh kesucian jiwa, sebab ia terhindar dari perbuatan-perbuatan tidak baik yang akan mengotori jiwanya itu.

Dalam hal ini, al-Ghazali (w. 505 H/1111 M) berpendapat, barangsiapa yang bergaul dengan manusia maka tidak akan dapat menghindar dari kemungkaran-kemungkaran.

Jika menolak kemungkaran, niscaya akan mendatangkan kesulitan yang akan menganggu kenyamanan hidupnya. Al-Ghazali juga mengatakan, bahwa uzlah akan melepaskan manusia dari perbuatan riyâ’, sedangkan riyâ’ merupakan penyakit yang sulit dihilangkan. Orang-orang yang bergaul akan terjebak atau bersahabat dengan riyâ’, ghſbah (mengumpat), dan namimah (memfitnah).

Jauh dari Fitnah & Permusuhan

Faidah lainnya dari pelaksanaan uzlah, menurut al-Ghazali, adalah akan membuat pelaku uzlah terlepas dari fitnah dan permusuhan. Mereka yang melaksanakan uzlah akan terpelihara agama dan jalan akhiratnya.

Kita menyadari bahwa dalam kehidupan sehar-ihari tidak menutup kemungkinan adanya saling memfitnah antara satu dengan lainnya. Untuk menghindari hal itu, seorang sufi diharuskan meninggalkan pergaulan yang menimbulkan fitnah, yakni dengan cara beruzlah.

Terhnidar dari Kejahatan Orang Lain

Selain hal-hal di atas, hikmah uzlah menurut pandangan para ahli tarekat, akan terbebas dari kejahatan manusia lain, terutama kejahatan mengumpat, dengki, membenci orang lain, sombong, merasa suci, merasa kaya, dan buruk sangka yang akan membawa manusia jauh dari jalan akhirat dan mendekatkannya ke jalan dunia.

Hal itu sangat memungkinkan muncul
karena pergaulan hidup dan kemewahan duniawi yang menyertainya. Di sinilah pentingnya uzlah, dalam pandangan kaum sufi.

Demikianlah ulasan tentang Uzlah, mulai dari pengertian, alasan hikmah dan tujuannya. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bisshawab.

Faisol Abdurrahman