Ciri Muslim Sejati; Mampu Mensinergikan Syariat dan Hakikat

Mensinergikan Syariat dan Hakikat

Pecihitam.org – Secara historis dalam bangunan Islam polemik antara paham hakikat dan paham syariat secara lahiriyah selalu ada. Kejadian itu sekarang kembali terjadi di Nusantara ini yang berpusat utamanya di Aceh antara Majlis Pengkajian Tauhid Tasawuf (MPPT) Indonesia dan Tauhid Tasawuf dan Fiqh (TASTAFI).

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

MPPT yang dinahkodai oleh Abuya Syeikh Amran Waly al-Khalidy adalah ajaran kesufian. Sedangkan TASTAFI yang dinahkodai oleh Abu Syeikh Hasanoel Basri adalah ajaran syariat zahir. Dengan munculnya dua kendaraan besar ini akan membukakan cakrawala pemikiran muslim di Nusantara tentang literasi pemahaman syariat dan hakikat yang selama ini kabur.

Syariat dan hakikat sebenarnya bukan sesuatu yang bertolak belakang satu sama lain jika dikaji dengan seksama. Memang apabila dilihat secara tekstual saja akan tampak dua yang bertolak belakang. Sehingga sebagian penuntut ilmu menjadi heran dengan teks-teks Alquran atau sunnah Rasulullah saw. yang sebagiannya berbunyi dengan corak syariat dan sebagian lain dengan corak hakikat.

Bahkan keheranan mereka itu telah menimbulkan perdebatan serius. Padahal dua hal yang tanpak musykil (paradoks) ini terang sekali pada ulama-ulama terdahulu. Mereka telah menjelaskannya dengan baik dan telah memposisikannya pada posisi masing-masing dengan tiada kontradiksi.

Yang dimaksud dengan syariat adalah menyembah Allah swt. dengan cara menjauhi larangan-larangan-Nya dan megerjakan perintah-perintah-Nya untuk memperbaiki anggota lahir.

Adapun hakikat adalah syuhud (menyaksikan) Allah swt. dalam ibadah itu dengan penghinaan diri serta merasa kalah tak berdaya di hadapan-Nya sehingga bersih dan ridha hati atas semua keputusan Allah baginya dengan cara tetap beradab, tawadhu’ dan baik akhlak dengan Allah swt.. Tujuan hakikat adalah untuk memperbaiki sir (ruh). Praktek syariat dan hakikat ini disebut dengan amal.

Amal ibadah hamba kepada Allah itu ada tiga macam. Tiga macam amal tersebut ada empat sebutan dalam ilmu Tasawuf. Pertama, amal syariat, amal thariqat dan amal hakikat. Kedua, diistilahkan dengan amal Islam, amal iman dan amal ihsan. Ketiga, diistilahkan dengan amal ibadah, amal ubudiah dan amal ubudah. Keempat, diistilahkan dengan amal ahli bidayah (permulaan), amal ahli wasath (menengah pertama) dan amal ahli nihayah (menengah atas).

Baca Juga:  Idul Adha di Tengah Pandemi: Menyembelih Ego, Menjunjung Akal Sehat

Dari tiga macam kategori amal itu, amal syariat adalah amal muslim kelas bawah, amal thariqat adalah amal muslim kelas menengah dan amal hakikat adalah amal muslim kelas atas.

Mengkompromikan

Sebagian penuntut ilmu menilai telah terjadi paradoks (musykil) terhadap sebagian firman Allah swt. dengan sebagian hadis Nabi saw.. Antaranya, firman Allah: “masuklah kamu ke dalam syurga itu dengan sebab amalan yang telah kamu kerjakan”. (QS. al-Nahl: 32), dan hadis “tidak akan masuk salah seorang kalian dalam syurga dengan sebab amalnya”. Secara tekstual ayat dan hadis ini terjadi paradoks. Namun belum tentu demikian secara kontekstualnya.

Al-‘Arif billah Ahmad bin Muhammad bin ‘Ajibah menjelaskan dalam kitabnya Iqādhul Himam bahwa Alquran dan sunnah itu datang antara syariat dan hakikat.

Oleh karena itu, maka redaksi Alquran dan sunnah itu adakala keduanya menyatakan syariat pada suatu permasalahan dan adakala menyatakan hakikat. Adakala Alquran menyatakan syariat dan sunnah menyatakan hakikat. Adakala sunnah menyatakan syariat dan Alquran menyatakan hakikat.

Berdasarkan itu, maka firman Allah swt. “masuklah kamu ke dalam syurga itu dengan sebab amalan yang telah kamu kerjakan” adalah sebagai syariat bagi ahli hikmah yaitu ahli syariat. Sedangkan hadis Nabi saw. “tidak akan masuk salah seorang kalian dalam syurga dengan sebab amalnya” adalah sebagai hakikat bagi ahli qudwah yaitu ahli hakikat.

Seperti itu juga halnya dengan firman Allah “kalian tidak berkehendak kecuali hanya Allah yang berkehendak” (QS. al-Insan: 30) adalah sebagai pernyataan hakikat. Dan hadis nabi saw. “apabila salah seorang kalian ingin berbuat satu kebaikan maka ditulis baginya satu kebaikan” adalah sebagai pernyataan syariat.

Baca Juga:  Inilah Tujuh Dugaan Penganiayaan Kiai Menurut Prof Mahfud MD

Walhasil, Alquran dan sunnah adalah saling membatasi dan saling menjelaskan. Maka yang wajib bagi manusia adalah harus ada dua mata. Yang satu melihat kepada hakikat dan yang satu lagi melihat kepada syariat.

Artinya, apabila ia mendapati Alquran atau sunnah dengan makna syariat pada satu sisi maka ia harus mendapatinya dengan makna hakikat pada sisi lain. Atau apabila ia mendapati Alquran atau sunnah dengan makna hakikat pada satu sisi maka ia harus mendapatinya dengan makna syariat pada sisi lain. Dengan menggunakan dua mata tersebut maka tidak ada kontradiksi antara ayat dan hadis.

Selain itu, ada jawaban lain yang sederhana yang dapat mengkompromikan paradoks tersebut. Bahwasanya tatkala Allah menyeru manusia kepada mentauhidkan-Nya dan taat kepada-Nya, maka manusia saat itu tidak terlalu ambisi melaksanakannya.

Karena itu, Allah janjikan mereka dengan balasan atas amal yang telah mereka kerjakan itu. Lalu ketika iman dan Islam mereka telah kuat maka Allah dan Rasulullah-Nya mengeluarkan mereka kembali dari ketergantungan pada amal tersebut kepada ikhlas dalam beribadah dan berhakikat pada maqam ikhlas saat beribadah.

Pengaruh amal

Dampak yang ditimbulkan oleh sebab amal syariat dan amal hakikat adalah lahirnya manusia-manusia yang berkarakter tadbir dan tajrid. Karakter tadbir adalah manusia yang menentukan, mengatur dan memperkirakan perkara-perkara dirinya untuk persiapan pada masa yang belum terjadi.

Tujuannya adalah untuk antisipasi dari hal-hal yang tidak diinginkan atau untuk harapan yang terbaik bagi dirinya, dengan tanpa menyerahkan urusannya kepada Allah swt..

Seperti bekerja mencari uang agar tidak jatuh miskin atau faqir, mempersiapkan diri dengan baik saat ingin berpegian agar tidak terjadi yang tidak diinginkan dan lain-lain yang sifatnya tidak menyerahkan urusannya kepada Allah.

Tadbir adalah karakter umum manusia, apalagi pada masa yang serba ketergantungan sekarang ini. Tadbir ada tiga macam: ada tadbir tercela yaitu tadbir semata-mata tanpa menyerahkan urusannya kepada Allah. Ada tadbir dianjurkan yaitu men-tadbir-kan perkara-perkara yang diwajibkan atau disunatkan oleh syariat beserta menyerahkan urusannya kepada Allah, seperti mengatur waktu belajar. Ada tadbir dibolehkan yaitu men-tadbir-kanperkara-perkara duniawi dengan ada menyerahkan urusannya kepada Allah.

Baca Juga:  Herd Immunity, Mungkinkah Indonesia Terapkan Strategi Ini untuk Tangani Covid-19 ?

Adapun karakter tajrid adalah ada tiga macam: ada tajrid lahir saja, ada tajrid batin saja dan ada tajrid kedua-duanya. Tajrid lahir adalah meninggalkan tiap-tiap perkara yang dapat menyibukkan anggota lahir dari taat kepada Allah. Tajrid batin adalah meninggalkan tiap-tiap perkara yang dapat menyibukkan hati dari hadir bersama Allah. Sedangkan tajrid keduanya adalah mentunggalkan hati dan anggota lahir bagi Allah semata-mata.

Orang yang ber-tajrid lahir saja adalah pendusta karena batin berpaling dari Allah. Sedangkan ber-tajrid batin saja adalah sudah baik, walaupun lahirnya tidak tajrid. Adapun yang dapat mengumpulkan keduanya maka ia manusia siddiq kamil.

Oleh karena itu, orang-orang yang bertauhid sufi (beramal hakikat) akan tanpil dengan karakter tajrid yang benar itu. Sedangkan orang-orang yang bertauhid mutakallimin (beramal syariat) akan tanpil dengan karakter tadbir secara umumnya.

Kedua golongan itu pada dasarnya tidak ada perbedaan karena kedua-duanya berjalan atas syariat dan hakikat. Hanya saja yang bertauhid sufi sudah terimplementasikan hakikat dalam bersyariat, dan yang bertauhid mutakallimin belum terimplementasikannya tapi masih pada tahap i’tiqad saja. Adapun yang berbeda dan disesatkan oleh ulama sebenarnya adalah yang bertauhid salik buta. Wallahu a’lam.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *