Hadits Shahih Al-Bukhari No. 32-33 – Kitab Iman

Pecihitam.org – Hadits Shahih Al-Bukhari No.32-33 – Kitab Iman ini, menerangkan kemaksiatan akan mengurangi keimanan, sebagaimana kataatan dapat menambah iman seseorang.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Kemunafikan adalah tanda tidak adanya iman, atau untuk mengetahui bahwa sebagian kemunafikan adalah kufur, dan dalam hal ini kemunafikan tersebut mempunyai tingkatan yang berbeda  Keterangan hadist dikutip dan diterjemahkan dari Kitab Fathul Bari Jilid 1 Kitab Iman. Halaman 159-162.

Hadits Shahih Al-Bukhari No.  32

حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ أَبُو الرَّبِيعِ قَالَ حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ جَعْفَرٍ قَالَ حَدَّثَنَا نَافِعُ بْنُ مَالِكِ بْنِ أَبِي عَامِرٍ أَبُو سُهَيْلٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلَاثٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ

Terjemahan: Telah menceritakan kepada kami [Sulaiman Abu ar Rabi’] berkata, telah menceritakan kepada kami [Isma’il bin Ja’far] berkata, telah menceritakan kepada kami [Nafi’ bin Malik bin Abu ‘Amir Abu Suhail] dari [bapaknya] dari [Abu Hurairah] dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Tanda-tanda munafiq ada tiga; jika berbicara dusta, jika berjanji mengingkari dan jika diberi amanat dia khianat”.

Hadits Shahih Al-Bukhari No.  33

حَدَّثَنَا قَبِيصَةُ بْنُ عُقْبَةَ قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مُرَّةَ عَنْ مَسْرُوقٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَرْبَعٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ كَانَ مُنَافِقًا خَالِصًا وَمَنْ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنْهُنَّ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنْ النِّفَاقِ حَتَّى يَدَعَهَا إِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ وَإِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا عَاهَدَ غَدَرَ وَإِذَا خَاصَمَ فَجَرَ تَابَعَهُ شُعْبَةُ عَنْ الْأَعْمَشِ

Terjemahan: Telah menceritakan kepada kami [Qabishah bin ‘Uqbah] berkata, telah menceritakan kepada kami [Sufyan] dari [Al A’masy] dari [Abdullah bin Murrah] dari [Masruq] dari [Abdullah bin ‘Amru] bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Empat hal bila ada pada seseorang maka dia adalah seorang munafiq tulen, dan barangsiapa yang terdapat pada dirinya satu sifat dari empat hal tersebut maka pada dirinya terdapat sifat nifaq hingga dia meninggalkannya. Yaitu, jika diberi amanat dia khianat, jika berbicara dusta, jika berjanji mengingkari dan jika berseteru curang”. Hadits ini diriwayatkan pula oleh [Syu’bah] dari [Al A’masy].

Pada bab sebelumnya Imam Bukhari telah menjelaskan, bahwa kekufuran dan kezhaliman mempunyai tingkat yang berbeda-beda. Maka dalam bab selanjutnya ia menjelaskan, bahwa kemunafikan juga mempunyai tingkat yang berbeda-beda, sebagaimana kekufuran dan kezhaliman.

Syaikh Muhyiddin mengatakan, “Maksud Imam Bukhari adalah untuk menjelaskan bahwa kemaksiatan akan mengurangi keimanan, sebagaimana kataatan dapat menambah iman seseorang.” Al Karmani menambahkan, “Korelasi pembahasan ini dengan bab “Iman” adalah untuk menjelaskan, bahwa kemunafikan adalah tanda tidak adanya iman, atau untuk mengetahui bahwa sebagian kemunafikan adalah kufur.

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 617 – Kitab Adzan

Nifaq (kemunafikan) menurut bahasa adalah, tidak adanya kesamaan atau kesesuaian antara lahir dan batin. Apabila hal ini terjadi dalam masalah akidah dan keimanan, maka disebut sebagai Nifaqul Kufri. Tapi jika terjadi dalam selain iman, maka dinamakan Nafaau! ‘Amal (nifaq dalam perbuatan), dan dalam hal ini kemunafikan tersebut mempunyai tingkatan yang berbeda.

Keterangan Hadis: آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلَاثٌ (tanda-tanda orang munafik ada tiga) Arti dari kata آيَةُ adalah (tanda). Penggunaan bentuk tunggal dari kata عَلَامَة untuk menunjukkan jenis, atau karena tanda-tanda orang munafik tersebut hanya akan terwujud jika terkumpul tiga karakter tersebut. Alasan pertama adalah alasan yang disetujui oleh Imam Bukhari. Oleh karena itu, dalam bab lain beliau menggunakan bentuk jama’ (plural) seperti yang diriwayatkan oleh Abu Awanah dengan lafazh  عَلَامَات الْمُنَافِق(tanda-tanda orang munafik).

Jika ada yang mengatakan bahwa hadits tersebut membatasi tanda-tanda tersebut hanya pada tiga karakter, lalu bagaimana dengan hadits lain yang berbunyi, أَرْبَع مَنْ كُنَّ فِيهِ (Barang siapa yang memiliki empat sifat ini) Al Qurthubi menjawab, “Ada kemungkinan bahwa Rasulullah baru mengetahui sifat yang baru itu.”

Menurut hemat saya, tidak ada pertentangan antara kedua hadits tersebut, karena sifat yang menunjukkan karakter yang sebenarnya dari orang munafik belum tentu merupakan tanda-tanda orang munafik. Karena bisa saja tanda-tanda tersebut merupakan sifat asli orang munafik, dan jika ditambahkan sifatsifat yang lain, maka sifat munafik itu akan menjadi sempurna.

Hanya saja dalam riwayat Muslim dari jalur Al ‘Ala’ bin Abdurrahman dari ayahnya dari Abu Hurairah, mengindikasikan tidak ada pembatasan dalam hadits tersebut, adalah karena lafazhnya adalah Min ‘Alamaati An-Nifaq Tsalatsatun. (di antara tanda-tanda orang munafik ada tiga hal…). Begitu pula yang diriwayatkan oleh Thabrani dalam kitab Al Ausath dari Abu Sa’id Al Khudri.

Apabila lafazh pertama ditafsirkan seperti ini, maka pertanyaan tersebut tidak akan muncul, karena hadits di atas memberitahukan tentang tanda-tanda orang munafik pada satu waktu dan tanda yang lainnya di lain kesempatan.

Al Qurthubi dan An-Nawawi juga berkata, “Dari kedua riwayat tersebut dapat diketahui ada lima karakter orang munafik, karena kedua hadits itu mencakup sifat berdusta dalam berbicara dan mengkhianati amanat. Pada hadits pertama ditambahkan sifat mengingkari janji, dan pada hadits kedua ditambahkan sifat mengingkari perjanjian dan berkata buruk ketika berdebat.”

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 228-229 – Kitab Wudhu

Menurut hemat saya, mengingkari perjanjian -dalam riwayat kedua dari Imam Muslim-adalah sebagai ganti mengingkari janji seperti yang terdapat dalam hadits pertama. Agaknya beberapa perawi telah merubah sebagian lafazhnya, karena kedua makna tersebut sama. Dari sini maka tambahannya hanya satu karakter, yaitu berkata buruk ketika berdebat. Yang dimaksud dengan “fujur” adalah, meninggalkan kebenaran dan mempergunakan tipu daya untuk menolaknya. Karakter ini sudah tercakup dalam karakter pertama, yaitu berdusta dalam berbicara.

Pembatasan tanda-tanda orang munafik hanya pada tiga sifat tersebut, adalah untuk mengingatkan sifat-sifat yang lain. Karena sumber agama hanya terbatas pada tiga hal, yaitu: perkataan, perbuatan dan niat. Maka hadits tersebut mengingatkan, bahwa dusta dapat merusak perkataan, khianat dapat merusak perbuatan, dan mengingkari janji dapat merusak niat. Dalam hal ini, mengingkari janji termasuk perbuatan dosa jika mengandung unsur kesengajaan.

Sedangkan jika seseorang telah bertekad untuk menepatinya tetapi ada suatu halangan, maka ia tidak dianggap sebagai orang munafik. Inilah yang disampaikan oleh Al Ghazali dalam kitab Ihya’.

Thabrani meriwayatkan sebuah hadits panjang yang menguatkan pernyataan tersebut, demikian pula dalam hadits yang diriwayatkan oleh Salman, “Jika berjanji ia akan berkata kepada dirinya sendiri, bahwa dia akan mengingkarinya.” Hal semacam ini juga terdapat pada karakterkarakter yang lain.

Kemudian dalam riwayat Abu Daud dan Tirmidzi dari Zaid bin Arqam disebutkan, “Jika seseorang menjanjikan saudaranya dan berniat untuk membayar (hutang) kemudian tidak membayarnya, maka tidak ada dosa baginya.”

وَإِذَا وَعَدَ (jika berjanji). Yang dimaksud dengan janji dalam hadits ini adalah janji dalam suatu kebaikan, karena janji dalam keburukan harus dilanggar dan tidak harus dipatuhi, bahkan diwajibkan untuk ditentang jika mendatangkan bahaya.

Sedangkan dusta yang ada dalam hadits yang diceritakan oleh Ibnu At-Tin dari Malik, ketika ditanya tentang orang yang berdusta, ia mengatakan, “Jenis dusta yang mana?” Agaknya ia berbicara tentang masa lalunya, lalu berlebih-lebihan dalam menceritakannya. Hal ini tidak berbahaya, tapi yang berbahaya adalah orang yang berbicara tentang sesuatu yang berlawanan dengan realita dengan maksud berdusta.

Imam Nawawi berkata, “Hadits ini dianggap oleh sebagian ulama sebagai hadits yang bermasalah, karena sifat-sifat ini telah ditemukan dalam diri seorang muslim dan dia tidak dihukumi kafir.” Kemudian beliau melanjutkan, “Makna hadits tersebut adalah benar dan tidak ada masalah di dalamnya. Sedangkan apa yang dikatakan oleh para penahqiq, bahwa orang yang memiliki karakter munafik disamakan dengan orang munafik, maka saya katakan bahwa pernyataan ini adalah dalam bentuk majaz. Artinya orang yang memiliki karakter tersebut seperti orang munafik, karena yang dimaksud dengan munafik di sini adalah Nifaqul Kufri (kekufuran).

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 628-630 – Kitab Adzan

Ada juga yang mengatakan, bahwa yang dimaksud dengan munafik dalam hadits tersebut adalah Nifaqul ‘Amal (kemunafikan dalam perbuatan) seperti yang kami sebutkan. Pendapat ini didukung oleh Al Qurthubi berdasarkan perkataan Umar kepada Hudzaifah, “Apakah engkau mengetahui kemunafikan dalam diriku?” Kemunafikan dalam pertanyaan tersebut maksudnya bukanlah Nifagul Kufri, tapi Nifaqul ‘Amal. Kemudian diperkuat dengan menambahkan kata “khalishah” (murni) dalam hadits kedua dengan lafazhnya مُنَافِقًا خَالِصًا (dia murni orang munafik).

Ada juga yang berpendapat, bahwa disebutkannya sifat munafik secara umum adalah sebagai peringatan bagi manusia untuk tidak melakukan sifat ini. Pendapat ini didukung oleh Al Khaththabi. Disebutkan juga bahwa kemungkinan yang disifati dengan sifat tersebut adalah orang yang telah terbiasa melakukan hal tersebut, sehingga menjadi suatu kebiasaan bagi mereka. Dia berkata, “Pernyataan tersebut dikuatkan dengan disebutkannya kata idzaa (jika), karena kata tersebut menunjukkan pengulangan (pekerjaan).”

Yang lebih utama adalah apa yang dikatakan Al Karmani, “Penghapusan obyek dari kata “haddatsa” (mengatakan) mengindikasikan arti umum. Artinya, jika dia berkata tentang segala sesuatu, maka ia akan berdusta. Kata tersebut dapat pula berarti menjadi pendek, sehingga artinya adalah jika telah menemukan inti pembicaraan, maka dia akan berdusta.” Ada yang mengatakan, bahwa ungkapan tersebut diinterpretasikan dengan orang yang memiliki sebagian besar karakter ini dan orang yang berada dalam kondisi seperti itu biasanya akidahnya rusak.

Semua jawaban ini berdasarkan bahwa huruf “lam” pada kata الْمُنَافِقِ yang menunjukkan jenis. Ada sebagian yang mengatakan, bahwa huruf tersebut mengindikasikan (‘Ahd)t Hadits tersebut ditujukan kepada orang tertentu atau kepada golongan munafik pada masa Rasulullah pendapat tersebut berdasarkan hadits dhaif’yang berkaitan dengan kasus itu. Jawaban yang paling baik adalah jawaban Al Qurthubi. Wallahu A’lam.

M Resky S