Hukum Pacaran Dalam Islam; Boleh atau Tidak? Begini Penjelasannya

Hukum Pacaran Dalam Islam; Boleh atau Tidak? Begini Penjelasannya

PeciHitam.org – Bolehkah pacaran dalam islam? Bagaimana hukum pacaran dalam Islam? Pertanyaan demi pertanyaan terkait pacaran sangat banyak ditujukan baik kepada Ustadz, Kiai, Guru atau mencari sendiri dalam artikel-artikel internet.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Pacaran sendiri banyak dipersepsikan dengan sesuatu yang bersifat intim dan dekat antara laki-laki dan perempuan. Akan tetapi pengertian pacaran belum satupun Ulama satu pandangan.

Daftar Pembahasan:

Pengertian Pacaran

Banyak orang latah menghukumi pacaran adalah berbuatan dosa, keji dan menjerumus kepada perzinahan akan tetapi tarif atau pengertian pacaran tidak diketahui dengan jelas. Kejelasan batasan dalam pengertian pacaran akan menjadi mudah untuk dihukumi, boleh atau haram.

Dalam Kamus besar Bahasa Indonesia, Pacaran mempunyai makna Teman lawan Jenis yang tetap dan mempunyai hubungan berdasarkan cinta. Dalam bahasa Arab, etimologi pacar merujuk pada kata (حبيب) yang mendekati makna kekasih, atau orang yang dicinta.

Pengertian dalam KBBI jika dipahami bermakna sangat abstrak, tidak mengandung unsur-unsur hukum yang mengkhawatirkan. Dalam Islam sendiri, hubungan antar manusia, baik sama jenis atau lawan jenis masuk dalam hukum Muammalah atau hukum kehidupan Islam.

Kosa kata Pacar dalam bahasa Arab yakni (حبيب) bahkan sering digunakan dalam shalawat Nabi, yang menempatkan Nabi Muhammad SAW sebagai Habibi, atau kekasihku. Dalam hal ini, menjadikan Nabi Muhammad SAW sebagai kekasih adalah kesunnahan.

Kiranya pendapat para Ulama tentang fenomena Pacaran sangat jarang ditemukan karena kata tersebut merupakan istilah baru dan sudah ada hukum yang menyamai dengan pacaran melalui unsur-unsurnya. Pendapat lebih jelas terkait pengertian pacaran dikemukakan oleh Bowman, seorang sosiolog barat.

Bowman mengatakan bahwa Pacaran adalah kegiatan bersenang-senang antara pria dan wanita yang tidak terikat tali akah pernikahan, yang mana dengannya dapat menimbulkan pengaruh timbal balik untuk hubungan selanjutnya. Pengertian ini merujuk kepada fenomena yang Bowman temukan di Amerika Serikat.

Praktek di Amerika sendiri, hubungan pacaran sudah selaiknya suami-istri dalam kerangka hubungan intim antar laki-laki dan perempuan. Tentu hal ini sangat ditentang oleh Islam.

Akan tetapi pengertian pacaran dalam kerangka Islam harus dikembalikan dalam ranah hukum hubungan antar manusia yakni, Muammalah.

Hukum Pacaran dalam Islam

Rujukan pengertian pacaran sama dengan Muammalah akan menjadikan akibat hukum yang berbeda jika Pacaran disamakan dengan pengertain di Barat menurut Sosiolog Bowman.

Baca Juga:  Hukum Meniup Makanan atau Minuman Panas Menurut Islam

Karena pada dasarnya segala macam Muamalah dibolehkan kecuali ada dalil yang melarangnya. Dasar kaidahnya adalah;

 الأصل فى الأشياء الإباحة إلا ماحرمه الشرع

Artinya; Asal segala perbuatan (manusia dengan manusia) adalah Boleh (Mubah) selama tidak ada larangan Syara.

Hukum pacaran dalam Islam jika ditarik ke dalam kerangka pengertian Muammalah tentu hukumnya diperbolehkan, tidak ada larangan untuk berhubungan antar manusia.

Bahkan hubungan yang lain jenis sangat diperbolehkan sebagaimana orang-orang yang akan menikah tentu melakukan kontak dengan lawan jenis.

Tentu kontak hubungan dalam Islam ada aturannya sendiri, tidak menggunakan aturan kontak sebagaimana di Barat. Kaidah Utama dalam hubungan Muammalah dengan lawan jenis adalah al-Quran surat Al-Isra ayat 32;

وَلا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلا

Artinya; Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk (Qs. Al-Israa; 32)

Acuan pengertian Pacaran dalam koridor Muammalah mempunyai banyak prasyarat sebagaimana dalam aturan Budaya, Agama dan kebiasaan baik masyarakat. Al-Israa ayat 12 dengan jelas bahwa (الزِّنَا) adalah perbuatan Keji dan Munkar. Allah SWT sangat membenci perbuatan zina.

Bahkan Rasulullah menguatkan dalam Sabda beliau;

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِي اللهُ عَنْهُ أَنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ وَلاَ تُسَافِرَنَّ امْرَأَةٌ إِلاَّ وَمَعَهَا مَحْرَمٌ   (رواه البخاري(

Hadits di atas menjelaskan rambu-rambu larangan seorang laki-laki untuk berkhalwat atau menyepi berdua atau bahasa mudanya Mojok dengan pasangan dengan tanpa orang lain yang mengawasi. Pengawasnya-pun harus dari golongan keluarganya sendiri atau mahram.

Perhatikan dengan seksama makna kandungan hadits di atas sebagai berikut;

Artinya; Dari Ibnu Abbas ra. Ia berkata: Aku mendengar Rasulullah saw berkhutbah, ia berkata: Jangan sekali-kali seorang laki-laki berkhalwat dengan seorang perempuan kecuali beserta ada mahramnya, dan janganlah seorang perempuan melakukan musafir kecuali beserta  ada mahramnya (muttafaq alaihi)

Nabi SAW membuat wanti-wanti/ tanda-tanda kepada Umatnya bahwa hubungan laki-laki dan perempuan jangan terjerumus kedalam kemaksiatan. Rambu-rambu Rasulullah berdasar hadits di atas yakni;

  • Berdua dengan lawan jenis yang bukan mahram

Istilah mahram adalah orang yang Haram untuk dinikahi seperti Kakak, Adik, Ibu, ayah saudara sepersusuan dan lain sebagainya. Istilah ini sering salah ucap dengan kata Muhrim.

  • Boncengan dalam Perjalanan Berdua
Baca Juga:  Hukum Asuransi dalam Islam dan Takaful; Benarkah di Haramkan? Ini Penjelasannya

Nabi SAW membuat perumpamaan bahwa memboncengkan orang lain yang bukan mahram tidak diperbolehkan. Tentunya keharaman dalam hadits ini merujuk kepada mereka yang mempunyai hubungan dan berpotensi untuk bermaksiat atau mesum.

Hukum ini tidak berlaku bagi mereka yang memang bekerja sebagai tukang ojek atau fasilitas angkutan lainnya selama potensi maksiat tidak ada.

Hukum Muammalah dalam Islam adalah boleh, akan tetapi dalam muammalah harus dengan baik dan tidak menyalahi hukum dengan lawan jenis yang bukan mahram. Jika melanggar dengan selain Mahram atau melakukan maksiat, maka hukumannya adalah neraka Jahannam.

Jika pengertian Pacaran disamakan dengan pengertian milik Sosiolog Bowman, yakni pergaulan bebas laki-laki dan perempuan, maka tidak ada perdebatan bahwa Pacaran adalah HARAM.

Karena unsur-unsur dalam pacaran sebagaimana dalam pengertian Bowman, merujuk pada perbuatan zina yang dikategorikan sebagai perbuatan keji. Zina sebagai perbuatan keji telah disampaikan Allah dalam firman surat Al-Israa ayat  32.

Rasulullah saw secara tidak langsung telah memberikan rambu-rambu kepada umatnya mengenai model hubungan laki-laki dan perempuan yang terlarang. Pelarangan itu demi menghindarkan seseorang terjerumus dalam perzinahan. Karena pada umumnya perzinahan bermula dari situasi berduaan.

Maka sebelum menyampaikan hukum harus lebih dahulu mendefinisikan pengertian supaya tidak salah dalam menghukumi sebuah fenomena.

Pacaran dan Khitbah (Lamaran)

Hikum pacaran dalam Islam menjadi haram jika hanya sekedar tujuan praktis bernuansa erotis dan penuh dengan maksiat. Sedangkan jika kita bermuammalah dengan perempuan atau lelaki secara baik dan benar, jauh dari maksiat dan berorientasi menikah maka disunnahkan.

Bahkan Rasulullah SAW mendukung dan menganjurkan generasi muda muslim untuk menikah, sebagai solusi menghindarkan diri dari perzinahan.

عَنْ عَبْدِ اللهِ قَالَ قَالَ لَنَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ

Pokok perintah Nabi SAW bahwa bagi seseorang yang sudah mampu baik lahiriah ataupun batinniah maka hendaknya menikah. Dengan menikah akan menghindarkan manusia dari perbuatan maksiat yang menjerumuskan. Jika belum mampu maka berpuasa, karena dengannya akan menjaga pandangan. Perhatikan makna dari hadits di atas;

Baca Juga:  Bagaimana Hukumnya Menyatukan Dua Niat Puasa dalam Satu Hari?

Artinya; Dari Ibnu Masud RA berkata,  Rasulullah saw mengatakan kepada kami: Hai sekalian pemuda, barang siapa diantara kamu yang telah sanggup melaksanakan akad nikah, hendaklah melaksanakannya. Maka sesungguhnya melakukan akad nikah itu (dapat) menjaga pandangan dan memlihar farj (kemaluan), dan barangsiapa yang belum sanggup hendaklah ia berpuasa (sunat), maka sesunguhnya puasa itu perisai baginya (HR. Bukhari-Muslim)

Jika tujuan untuk bermuammalah dengan lawan jenis agar segera terlaksananya sunnah Nabi SAW, yakni menikah sangat dianjurkan.

Menikah adalah sunnah Nabi SAW, dan barangsiapa tidak senang dengan sunnah Nabi maka tidak dihitung sebagai Umatnya. Kiranya inti hadits riwayat Bukhari tersebut menjadikan orang paham bahwa muammalah dan berhubungan antara lawan jenis akan HARAM selama belum adanya ikatan Akad Nikah.

Langkah muammalah yang baik dengan perempuan adalah dengan cara berpacaran dalam kerangka Khitbah atau melamar. Inilah bentuk keromantisan seorang laki-laki untuk perempuan tidak memerlukan penjajakan maksiat dalam pacaran Ala Barat, akan tetapi melakukan penjajakan Ala Islam.

Khitbah dalam Islam menurut kitab Taqrib dijelaskan bahwa;

النظر لاجل النكاح فيجوز الى الوجه والكفين 

Artinya; Melihat (kepada Wanita) untuk maksud menikahi diperbolehkan denga memandang muka dan telapak tangannya.

Penjajakan dalam Islam kepada perempuan untuk dinikahi diperbolehkan. Maka pacaran dengan memperhatikan berbagai situasi dan prasyarat diperbolehkan selama sesuai dengan prinsip Muammalah. Jika pacaran disamakan dengan pergaulan bebas lelaki perempuan, tentu tidak boleh atau Haram karena mendekati Zina.

Mohammad Mufid Muwaffaq