Pecihitam.org – Berdasarkan riwayat Imam Bukhari, diceritakan bahwa, Ka’ab bin Malik pernah tertinggal dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam perang Tabuk. Saat itu Ka’ab bin Malik ikut serta bersama Rasulullah pada malam Aqabah ketika berjanji untuk membela Islam. Dan malam itu lebih dahsyat dari perang badar, namun sedikit orang yang tau.
Sudah menjadi tradisi Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau tidak pernah melakukan sebuah peperangan selain beliau merahasiakan tujuan peperangannya, hingga saat terjadilah perang tabuk ini, yang mana beliau menyatakan tujuan perangnya secara terang-terangan.
Kemudian ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pergi berangkat ke perang Tabuk cuaca sangat panas saat itu. Dapat di katakan bahwasanya beliau menempuh perjalanan yang amat jauh dan penuh resiko, serta menghadapi musuh yang berjumlah besar. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan kepada kaum muslimin apa yang akan mereka hadapi bersamanya. Oleh karena itu, beliau memerintahkan kaum muslimin untuk mempersiapkan perbekalan perang yang cukup.
Pada saat itu, kaum muslimin yang menyertai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam banyak sekali, padahal tanpa ditunjuk melalui surat tugas untuk berperang. Hinga Ka’ab menduga bahwa jika ia tidak mengikuti perang tersebut, tidak akan di ketahui oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selama tidak ada wahyu yang turun mengenai dirinya dari Allah Azza Wa Jalla.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pergi berperang ketika hasil panen buah sangat memuaskan. Beliau dan kaum muslimin yang ikut serta, sudah bersiap-siap, sedangkan Ka’ab pergi untuk mencari perbekalan bersama kaum muslim yang lainnya. Namun ketika ia tidak memperoleh perbekalan sama sekali. Ka’ab berkata dalam hatinya: ‘Ahh, saya dapat mempersiapkan perbekalan sewaktu-waktu. Saya selalu dalam teka-teki antara iya (berangkat) dan tidak hingga pasukan muslim yang lain semakin siap untuk berangkat.‘
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berangkat bersama kaum muslimin, sedangkan Ka’ab belum mempersiapkan perbekalan sama sekali. Akhirnya Ka’ab pulang tanpa mempersiapkan sesuatu. Ia masih berada dalam kebimbangan antara turut serta berperang ataupun tidak, hingga pasukan kaum muslimin telah bergegas berangkat dan perang pun berkecamuk sudah. Kemudian Ka’ab ingin menyusul ke medan pertempuran itu, namun hal itu hanyalah angan-angan belaka, dan akhirnya Ka’ab ditakdirkan untuk tidak ikut serta ke medan perang.
Setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pergi ke medan perang tabuk, maka mulailah rasa sedih menyelimuti diri Ka’ab bin Malik. Ketika keluar ke tengah-tengah masyarakat sekitar, ia menyadari bahwasanya tidak ada yang dapat ia temui kecuali orang-orang yang dalam kemunafikan atau orang-orang yang lemah yang diberikan uzur oleh Allah sehingga tidak mengikuti perang.
Sementara itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak ingat bahwa Ka’ab tidak ikut serta dalam peperangan. Kemudian, ketika beliau sedang duduk-duduk di tengah para sahabat, tiba-tiba beliau bertanya; ‘Mengapa Ka’ab bin Malik tidak ikut serta bersama kita? ‘ Seorang sahabat dari Bani Salimah menjawab; ‘Ya Rasulullah, sepertinya Ka’ab bin Malik lebih mementingkan dirinya sendiri daripada perjuangan ini ‘ Mendengar ucapan sahabat tersebut, Muadz bin Jabal berkata; ‘Hai sahabat, buruk sekali ucapanmu itu! Demi Allah ya Rasulullah, saya tahu bahwasanya Ka’ab bin Malik itu adalah orang yang baik.’ Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam diam.
Ketika Ka’ab mendengar bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersiap-siap kembali dari perang Tabuk, maka ia pun diliputi kesedihan. Lalu Ka’ab mulai merancang alasan untuk berdusta. Ka’ab berkata dalam hati; ‘Alasan apa yang dapat menyelamatkan diri saya dari amarah Rasulullah?’ Untuk menghadapi hal tersebut, Ka’ab meminta pertolongan kepada keluarga yang dapat memberikan saran.
Ketika ada seseorang yang berkata kepada Ka’ab bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam hampir tiba di kota Madinah, hilanglah alasan untuk berdusta dari benaknya. Akhirnya Ka’ab menyadari bahwasanya ia tidak dapat berbohong sedikit pun kepada Rasulullah. Oleh karena itu, Ka’ab pun harus berkata jujur kepada beliau.
Tak lama kemudian Rasulullah dan para sahabat lainnya tiba di kota Madinah. Seperti biasa, beliau langsung menuju Masjid sebagaimana tradisi beliau manakala tiba dari bepergian ke suatu daerah untuk melakukan shalat. Setelah melakukan shalat sunnah, Rasulullah langsung bercengkrama bersama para sahabat. Setelah itu, datanglah beberapa orang sahabat yang tidak sempat ikut serta bertempur bersama kaum muslimin seraya menyampaikan berbagai alasan kepada beliau dengan bersumpah.
Diperkirakan mereka yang tidak turut serta bertempur itu sekitar delapan puluh orang lebih. Ternyata Rasulullah menerima keterus terangan mereka yang tidak ikut serta berperang, membai’at mereka, memohon ampun untuk mereka, dan menyerahkan apa yang mereka sembunyikan dalam hati mereka kepada Allah. Selang beberapa saat kemudian, Ka’ab datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Setelah ia memberi salam, beliau tersenyum seperti senyuman orang yang marah.
Kemudian Rasul pun berkata; ‘Kemarilah! ‘ Lalu Ka’ab berjalan mendekati beliau, hingga ia duduk tepat di hadapan beliau. Setelah itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya: ‘Mengapa kamu tidak ikut serta bertempur bersama kami, wahai Ka’ab? Bukankah kamu telah berjanji untuk menyerahkan jiwa ragamu untuk Islam? ‘, Ka’ab menjawab; ‘Ya Rasulullah, demi Allah seandainya saya duduk di dekat orang selain diri engkau, niscaya saya yakin bahwasanya saya akan terbebaskan dari kemurkaannya karena alasan yang saya sampaikan.
Tetapi, demi Allah, saya tahu jika sekarang saya menyampaikan kepada engkau alasan yang penuh dusta hingga membuat engkau tidak marah, tentunya Allah lah yang membuat engkau marah kepada saya. Apabila saya mengemukakan kepada engkau ya Rasulullah alasan saya yang benar dan jujur, lalu engkau akan memarahi saya dengan alasan tersebut, maka saya pun akan menerimanya dengan senang hati. Biarkanlah Allah memberi hukuman kepada saya dengan ucapan saya yang jujur tersebut.
Demi Allah, sesungguhya tidak ada uzur yang membuat saya tidak ikut serta berperang. Demi Allah, saya tidak berdaya sama sekali kala itu meskipun saya mempunyai peluang yang sangat longgar sekali untuk ikut berjuang bersama kaum muslimin.’ Mendengar pengakuan yang tulus itu, Rasulullah pun berkata: ‘Orang ini telah berkata jujur dan benar. Oleh karena itu, berdirilah hingga Allah memberimu keputusan’.
Akhirnya Ka’ab pun berdiri dan beranjak dari sisi beliau. Tak lama kemudian, ada beberapa orang dari Bani Salimah beramai-ramai mengikuti saya seraya berkata; ‘Hai Ka’ab, demi Allah, sebelumnya kami tidak mengetahui bahwasanya kamu telah berbuat suatu kesalahan/dosa. Kamu benar-benar tidak mengemukakan alasan kepada Rasulullah sebagaimana alasan yang dikemukakan para sahabat lain yang tidak turut berperang. Sesungguhnya, hanya istighfar Rasulullah untukmulah yang menghapus dosamu.’
Kemudian Ka’ab bin Malik berkata dalam hati; ‘Demi Allah, mereka selalu mencerca saya hingga saya ingin kembali lagi kepada Rasulullah lalu saya dustakan diri saya.’ Lantas ia bertanya; ‘Apakah ada orang lain yang telah menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam seperti diri saya ini? ‘ Orang-orang Bani Salimah menjawab; ‘Ya. Ada dua orang lagi seperti dirimu. Kedua orang tersebut mengatakan kepada Rasulullah seperti apa yang telah kamu utarakan, dan Rasulullah pun menjawabnya seperti jawaban kepadamu.’
Ka’ab bin Malik berkata; ‘Siapakah kedua orang tersebut wahai para sahabat?‘ Mereka, kaum Bani Salimah, menjawab; ‘Kedua orang tersebut adalah Murarah bin Rabi’ah Al Amin dan Hilal bin Ummayah Al Waqifi.’
Beberapa hari kemudian, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang kaum muslimin untuk berbicara dengan mereka bertiga yang tidak ikut serta dalam perang Tabuk. Sejak saat itu, kaum muslimin mulai menjauhi dan berubah sikap terhadap mereka bertiga, hingga bumi terasa asing bagi mereka. Dan hal itu berlangsung lima puluh malam lamanya.
Dua orang teman Ka’ab (Murarah bin Rabi’ah Al Amin dan Hilal bin Ummayah Al Waqifi) yang tidak ikut serta dalam perang Tabuk itu, kini bersimpuh sedih di rumahnya sambil menangis, sedangkan Ka’ab adalah seorang anak muda yang tangguh dan tegar. Ia tetap bersikap wajar dan menjalankan aktivitas sehari-hari seperti biasanya.
Ia tetap keluar dari rumah, pergi ke masjid untuk menghadiri shalat jama’ah bersama kaum muslimin lainnya, dan berjalan-jalan di pasar meskipun tidak ada seorang pun yang sudi berbicara dengannya. Hingga pada suatu ketika Ka’ab menghampiri Rasulullah sambil memberikan salam kepadanya, ketika beliau berada di tempat duduknya usai shalat.
Ka’ab bertanya dalam hati; ‘Apakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam akan menggerakkan bibirnya untuk menjawab salam ataukah tidak? ‘. Kemudian Ka’ab melaksanakan shalat di dekat Rasulullah sambil mencuri pandangan kepada beliau. Ketika Ka’ab telah bersiap untuk melaksanakan shalat, rasul memandangnya. Dan ketika Ka’ab menoleh kepada beliau, Rasul pun mengalihkan pandangannya dari Ka’ab.’
Setelah lama terisolisir dari pergaulan kaum muslimin, Ka’ab pun pergi berjalan-jalan hingga sampai di pagar kebun Abu Qatadah. Abu Qatadah adalah (sepupu Ka’ab). Sesampainya di sana, Ka’ab pun mengucapkan salam kepadanya. Tetapi, demi Allah, sama sekali ia tidak menjawab salam Ka’ab.
Akhirnya Ka’ab memberanikan diri untuk bertanya kepadanya; ‘Hai Abu Qatadah, saya bersumpah kepadamu dengan nama Allah, apakah kamu tidak mengetahui bahwasanya saya sangat mencintai Allah dan Rasul-Nya? ‘ Ternyata Abu Qatadah hanya terdiam saja. Lalu Ka’ab mengulangi lagi ucapannya dengan bersumpah seperti yang pertama kali. Namun ia tetap saja terdiam.
Kemudian Ka’ab mengulangi ucapannya dan ia pun menjawab; ‘Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui tentang hal ini.’ Mendengar ucapannya itu, berlinanglah air mata Kaab. Lalu ia kembali ke rumah sambil menyusuri kebun tersebut.
Setelah empat puluh hari lamanya dari pengucilan umum, ternyata wahyu Allah pun tidak juga turun. Hingga pada suatu ketika, seorang utusan Rasulullah mendatangi Ka’ab sambil menyampaikan sebuah pesan; ‘Hai Ka’ab, sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkanmu untuk menghindari istrimu.’ Ka’ab bertanya; ‘Apakah saya harus menceraikan atau bagaimana? ‘ Utusan tersebut menjawab; ‘Tidak usah kamu ceraikan. Tetapi, cukuplah kamu menghindarinya dan janganlah kamu mendekatinya.’
Lalu Kaab berkata kepada istrinya; ‘Wahai istriku, sebaiknya kau pulang terlebih dahulu ke rumah orang tuamu dan tinggallah bersama dengan mereka hingga Allah memberikan keputusan yang jelas dalam permasalahan ini.’
Tak lama kemudian, istri Hilal bin Umayyah pergi mendatangi Rasulullah sambil bertanya; ‘Ya Rasulullah, Hilal bin Umayyah itu sudah lanjut usia dan lemah serta tidak mempunyai pembantu. Oleh karena itu, izinkanlah saya merawatnya.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun menjawab: ‘Jangan. Sebaiknya kamu tidak usah menemaninya terlebih dahulu dan ia tidak boleh dekat denganmu untuk beberapa saat.’
Isteri Hilal tetap bersikeras dan berkata; ‘Demi Allah ya Rasullah, sekarang ia itu tidak mempunyai semangat hidup lagi. Ia senantiasa menangis, sejak mendapatkan permasalahan ini sampai sekarang.’ Setelah itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan izin kepada isteri Hilal bin Umayyah untuk merawat suaminya.
Ternyata hal itu berlangsung selama sepuluh malam, hingga dengan demikian lengkaplah sudah lima puluh malam bagi mereka, terhitung sejak kaum muslimin dilarang untuk berbicara kepada mereka. Pada malam ke lima puluh, Ka’ab melaksanakan shalat di belakang rumah. Ketika Ka’ab sedang duduk dalam shalat tersebut, dirinya diliputi penyesalan dan kesedihan.
Tiba-tiba ia mendengar seseorang berteriak dengan lantangnya menembus cakrawala; ‘Hai Ka’ab bin Malik, bergembiralah! ‘ Maka Ka’ab pun tersungkur sujud dan mengetahui bahwasanya ia telah terbebas dari persoalannya. Kemudian Rasulullah mengumumkan kepada kaum muslimin usai shalat Subuh, bahwasanya Allah telah membebaskan Ka’ab dan dua orang temannya dari permasalahan tersebut.
Allah telah menurunkan surat al-Taubah ayat 117-119,
لَقَدْ تَابَ اللَّهُ عَلَى النَّبِيِّ وَالْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ الَّذِينَ اتَّبَعُوهُ فِي سَاعَةِ الْعُسْرَةِ مِنْ بَعْدِ مَا كَادَ يَزِيغُ قُلُوبُ فَرِيقٍ مِنْهُمْ ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْ إِنَّهُ بِهِمْ رَءُوفٌ رَحِيمٌ (117) وَعَلَى الثَّلَاثَةِ الَّذِينَ خُلِّفُوا حَتَّى إِذَا ضَاقَتْ عَلَيْهِمُ الْأَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ وَضَاقَتْ عَلَيْهِمْ أَنْفُسُهُمْ وَظَنُّوا أَنْ لَا مَلْجَأَ مِنَ اللَّهِ إِلَّا إِلَيْهِ ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْ لِيَتُوبُوا إِنَّ اللَّهَ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ (118) يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ (119)
Artinya: “Sungguh allah telah menerima tobat Nabi, orang-orang muhajirin, dan orang-orang Anshar yang mengikuti Nabi pada masa-masa sulit, setelah hati dari segolongan mereka hampir berpaling. Kemudian Allah menerima tobat mereka. Sesungguhnya Allah maha pengasih, maha penyanyang kepada mereka (117).
Dan terhadap tiga orang yang ditinggalkan, hingga terasa bumi sangat sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa mereka pun telah sempit, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksaan) Allah, melainkan kepada-Nya saja. Kemudian Allah menerima tobat mereka agar mereka tetap dalam tobatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat Maha Penyanyang (118).
Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwahlah kepada Allah, dan bersamalah kamu dengan orang-orang yang benar (119).”
Hal ini menjelaskan bahwa Allah telah menerima taubat mereka, dan mereka telah terbebas dari masa sulitnya. Kemudian mereka bersumpah, berbaiat kepada Rasul, dan beristighfar. Adapun alasan Rasul memperlakukan mereka seperti itu adalah karena Allah belum menurunkan wahyu untuknya. Karena Rasul tidak akan memutuskan sesuatu sebelum Allah memberi jawaban untuknya.
Maka begitulah Kisah Ka’ab bin Malik, salah satu peristiwa yang terjadi saat perang Tabuk. Semoga bermanfaat. Wallahu A’lam.