Surah Al-Kahfi Ayat 32-36; Terjemahan dan Tafsir Al-Qur’an

Surah Al-Kahfi aya 32-36

Pecihitam.org – Kandungan Surah Al-Kahfi Ayat 32-36 ini, mengungkapkan ucapan pemilik kebun itu kepada saudaranya yang mukmin tentang ketidakpercayaannya bahwa hari kiamat itu akan datang. Sekiranya hari kiamat itu datang dan dia dikembalikan kepada Tuhan, dia tentu akan kembali mendapatkan yang lebih baik daripada kebun-kebun yang dimilikinya di dunia ini.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Terjemahan dan Tafsir Al-Qur’an Surah Al-Kahfi ayat 32-36

Surah Al-Kahfi ayat 32
وَاضْرِبْ لَهُم مَّثَلًا رَّجُلَيْنِ جَعَلْنَا لِأَحَدِهِمَا جَنَّتَيْنِ مِنْ أَعْنَابٍ وَحَفَفْنَاهُمَا بِنَخْلٍ وَجَعَلْنَا بَيْنَهُمَا زَرْعًا

Terjemahan: Dan berikanlah kepada mereka sebuah perumpamaan dua orang laki-laki, Kami jadikan bagi seorang di antara keduanya (yang kafir) dua buah kebun anggur dan kami kelilingi kedua kebun itu dengan pohon-pohon korma dan di antara kedua kebun itu Kami buatkan ladang.

Tafsir Jalalain: وَاضْرِبْ (Dan berikanlah) jadikanlah لَهُم (buat mereka) buat orang-orang kafir beserta orang-orang Mukmin مَّثَلًا رَّجُلَيْنِ (sebuah perumpamaan dua orang laki-laki). Lafal َّجُلَيْنِ menjadi Badal daripada lafal َّ ثَلًا, dan lafal رَّجُلَيْنِ dengan lafal-lafal yang sesudahnya berkedudukan sebagai penafsir daripada lafal matsala

جَعَلْنَا لِأَحَدِهِمَا (Kami jadikan bagi seorang di antara keduanya) yakni bagi orang yang kafir بِنَخْلٍ (dua buah kebun) dua buah perkebunan وَجَعَلْنَا بَيْنَهُمَا زَرْعًا (anggur dan Kami kelilingi kedua kebun itu dengan pohon-pohon kurma dan di antara kedua kebun itu Kami buatkan ladang) yang khusus menghasilkan makanan pokok.

Tafsir Ibnu Katsir: Setelah bercerita tentang orang-orang musyrik yang sombong lagi enggan untuk duduk bersama kaum muslimin yang lemah dan miskin, dan yang membanggakan diri atas mereka dengan harta kekayaan dan kedudukan mereka,

maka Allah; berfirman seraya memberikan perumpamaan bagi kedua kelompok orang di atas dengan dua orang yang salah seorang dari keduanya diberi oleh Allah dua kebun anggur yang dikelilingi oleh pohon-pohon kurma. Di celah-celah kedua kebun tersebut terdapat ladang, yang semua pohon dan tanaman dipenuhi dengan buah yang sangat menyenangkan.

Tafsir Kemenag: Dalam ayat ini, dua orang laki-laki dijadikan Allah sebagai per-umpamaan untuk menjelaskan kepada para pemuka musyrik yang kaya itu tentang perbedaan antara iman dan kufur, atau antara hamba yang mulia di sisi-Nya dengan yang hina. Ulama berbeda pendapat, apakah cerita dalam ayat ini hanya perumpamaan saja, tidak ada dalam kenyataan sejarah, atau hal ini merupakan kisah nyata.

Mereka yang berpendapat bahwa kisah ini merupakan kisah nyata berbeda tentang siapa yang dimaksudkan dengan dua orang ini. Menurut riwayat yang disebutkan Imam al-Qurthubi, ada yang mengatakan kedua laki-laki itu adalah penduduk Mekah dari kabilah Bani Makhzum.

Mereka berdua bersaudara, yang mukmin bernama Yahuza dan yang kafir bernama Qurthus. Keduanya semula bersama-sama dalam suatu usaha, kemudian berpisah dan membagi kekayaan mereka. Masing-masing menerima ribuan dinar.

Yahuza menggunakan uangnya seribu dinar untuk membebaskan budak, seribu dinar untuk membelikan makanan bagi orang-orang yang terlantar, dan seribu dinar untuk membelikan pakaian orang-orang yang lapar.

Adapun Qurthus menggunakan uangnya untuk kawin dengan seorang wanita kaya, dan membeli hewan ternak, sehingga harta kekayaan berkembang. Sisa uang yang lain digunakan untuk berdagang dan selalu membawa laba, sehingga dia menjadi orang yang terkaya di negerinya pada saat itu.

Sebuah riwayat menyebutkan bahwa kisah ini adalah tentang orang kaya dengan kebun dan tanamannya yang luas. Dia memiliki dua buah kebun anggur yang dikelilingi oleh pohon-pohon korma dan di antara keduanya terdapat sebidang ladang tempat bermacam-macam tanaman dan buah-buahan.

Surah Al-Kahfi Ayat 33
كِلْتَا الْجَنَّتَيْنِ آتَتْ أُكُلَهَا وَلَمْ تَظْلِم مِّنْهُ شَيْئًا وَفَجَّرْنَا خِلَالَهُمَا نَهَرًا

Terjemahan: Kedua buah kebun itu menghasilkan buahnya, dan kebun itu tiada kurang buahnya sedikitpun, dan Kami alirkan sungai di celah-celah kedua kebun itu,

Tafsir Jalalain: كِلْتَا الْجَنَّتَيْنِ (Kedua buah kebun itu) lafal Kiltaa adalah Mufrad yang menunjukkan makna Tatsniyah; ia berkedudukan menjadi Mubtada آتَتْ (menghasilkan). Lafal Aatat ini menjadi Khabar Kiltaa أُكُلَهَا (buahnya) yakni buah-buahannya

Baca Juga:  Surah Al-Kahfi Ayat 66-70; Terjemahan dan Tafsir Al-Qur'an

وَلَمْ تَظْلِم (dan kebun itu tiada dizalimi) dikurangi مِّنْهُ شَيْئًا وَفَجَّرْنَا (buahnya sedikit pun dan Kami alirkan) artinya, Kami bedahkan خِلَالَهُمَا نَهَرًا (sungai di celah-celah kedua kebun itu) yakni sungai itu mengalir di antara kedua kebun tersebut.

Tafsir Ibnu katsir: Allah berfirman: كِلْتَا الْجَنَّتَيْنِ آتَتْ أُكُلَهَا (“Kedua buah kebun itu menghasilkan buahnya,”) yakni, mengeluarkan buahnya. وَلَمْ تَظْلِم مِّنْهُ شَيْئًا (“Dan kebun itu tiada mendhalimi buahnya sedikit pun.”) Yakni, mengurangi sedikit pun dari buahnya.

وَفَجَّرْنَا خِلَالَهُمَا نَهَرًا (“Dan Kami alirkan sungai di celah-celah kedua kebun itu.”) Maksudnya, di dalam kedua kebun tersebut terdapat sungai-sungai yang berpencar-pencar, ada di sini dan di sana.

Tafsir Kemenag: Dalam ayat ini, Allah swt menerangkan tentang keadaan kedua kebun yang penuh dengan buah-buahan sepanjang tahun itu. Pohon-pohonnya selalu rindang dan lebat. Sedikit pun kedua kebun itu tidak pernah mengalami kemunduran dan kekurangan sepanjang musim. Keduanya selalu memberikan hasil yang membawa kemakmuran kepada pemiliknya.

Di tengah-tengah kebun itu mengalir sebuah sungai yang setiap waktu dapat mengairi tanah dan ladang-ladang di sekitarnya. Pengairan yang teratur menyebabkan tanaman selalu subur, dan sungai yang mengalir itu benar-benar menambah keindahannya. Itulah kenikmatan besar yang telah dilimpahkan Allah kepada pemiliknya.

Surah Al-Kahfi Ayat 34
وَكَانَ لَهُ ثَمَرٌ فَقَالَ لِصَاحِبِهِ وَهُوَ يُحَاوِرُهُ أَنَا أَكْثَرُ مِنكَ مَالًا وَأَعَزُّ نَفَرًا

Terjemahan: dan dia mempunyai kekayaan besar, maka ia berkata kepada kawannya (yang mukmin) ketika bercakap-cakap dengan dia: “Hartaku lebih banyak dari pada hartamu dan pengikut-pengikutku lebih kuat”

Tafsir Jalalain: وَكَانَ لَهُ (Dan dia mempunyai) di samping kedua kebun itu ثَمَرٌ (buah-buahan yang banyak) lafal ثَمَرٌ atau Tsumurun atau Tsumrun adalah bentuk jamak dari kata Tsamratun; keadaannya sama dengan lafal Syajaratun dan Syajarun, atau Khasyabatun dan Khasyabun, atau Badanatun dan Badanun

فَقَالَ لِصَاحِبِهِ (maka ia berkata kepada kawannya) yang mukmin وَهُوَ يُحَاوِرُهُ (ketika ia bercakap-cakap dengan dia) seraya membanggakan miliknya, أَنَا أَكْثَرُ مِنكَ مَالًا وَأَعَزُّ نَفَرًا “(Hartaku lebih banyak daripada hartamu dan pengikut-pengikutku lebih kuat)” keluargaku lebih kuat.

Tafsir ibnu katsir: وَكَانَ لَهُ ثَمَرٌ (“Dan dia mempunyai kekayaan besar,”) ada yang berpendapat, “tsamar,” itu maksudnya harta atau kekayaan, itulah menurut riwayat dari Ibnu `Abbas dan Mujahid, juga Qatadah.

Ada juga yang mengatakan bahwa “tsamar” itu ialah buah-buahan, dan itu yang nampak jelas pada ayat ini, juga dikuatkan dalam bacaan lain.

Firman-Nya: وَكَانَ لَهُ ثَمَرٌ (“Dan dia mempunyai kekayaan besar,”) yaitu dengan memberikan harakat dhammah di atas huruf ثَ dan sukun di atas huruf مَ, sehingga kata tersebut merupakan jamak dari kata tsamrah (buah), seperti halnya kata khasybah dan khasyab. Ulama lainnya ada yang membaca ثَمَرٌ , yaitu dengan memberikan harakat fathah di atas huruf ثَ’ dan huruf مَ,. Kemudian pemilik kedua kebun itu berkata kepada kawannya, yang ketika itu ia tengah berdebat dan berdialog dengannya seraya membanggakan
diri atas kawannya itu dan merasa mengunggulinya:

أَنَا أَكْثَرُ مِنكَ مَالًا وَأَعَزُّ نَفَرًا (“Hartaku lebih banyak daripada hartamu dan pengikut-pengikutku lebih kuat.”) Maksudnya, yang lebih banyak pembantu, pengikut dan juga anak.

Tafsir Kemenag: Allah swt menjelaskan dalam ayat ini bahwa pemilik kebun itu masih memiliki kekayaan lain berupa harta perdagangan emas, perak, dan lain-lainnya yang diperoleh dari penjualan hasil kebun dan ladang. Qurthus benar-benar berada dalam kehidupan yang mewah, dengan harta kekayaan yang melimpah ruah, dan memiliki pembantu-pembantu, buruh-buruh, dan pengawal-pengawal dalam jumlah yang besar.

Keadaan yang demikian membuat dirinya sombong dan ingkar kepada Tuhan yang memberikan nikmat itu kepadanya. Dia berkata kepada temannya yang beriman, yang sebelumnya telah menyeru kepadanya agar beriman kepada Allah dan hari kebangkitan, “Aku mempunyai harta yang lebih banyak daripada kamu, seperti yang kamu saksikan, dan pengikut-pengikutku lebih banyak.

Baca Juga:  Surah Al-Kahfi Ayat 18; Terjemahan dan Tafsir Al-Qur'an

Sewaktu-waktu mereka siap mempertahankan diri dan keluargaku dari musuh-musuhku, serta memelihara dan membela hartaku.” Dengan perkataan ini, dia mengisyaratkan bahwa seseorang dapat hidup bahagia dan jaya tanpa beriman kepada Tuhan seru sekalian alam.

Dia beranggapan bahwa segala kejayaan yang dimilikinya dan kenikmatan yang diperolehnya semata-mata berkat kemampuan dirinya. Tiada Tuhan yang dia rasakan turut membantu dan memberi rezeki dan kenikmatan kepadanya.

Surah Al-Kahfi Ayat 35
وَدَخَلَ جَنَّتَهُ وَهُوَ ظَالِمٌ لِّنَفْسِهِ قَالَ مَا أَظُنُّ أَن تَبِيدَ هَذِهِ أَبَدًا

Terjemahan: Dan dia memasuki kebunnya sedang dia zalim terhadap dirinya sendiri; ia berkata: “Aku kira kebun ini tidak akan binasa selama-lamanya,

Tafsir Jalalain: وَدَخَلَ جَنَّتَهُ (Dan dia memasuki kebunnya) dengan membawa temannya yang Mukmin itu, seraya membawanya ke sekeliling kebun serta memperlihatkan kepadanya hasil buah-buahannya.

Di sini tidak diungkapkan dengan memakai lafal جَنَّتَه dalam bentuk Tatsniyah karena pengertian yang dimaksud adalah tamannya. Menurut pendapat yang lain disebutkan, bahwa cukup hanya dengan menyebutkan satu saja

وَهُوَ ظَالِمٌ لِّنَفْسِهِ (sedang dia zalim terhadap dirinya sendiri) dengan melakukan kekafiran قَالَ مَا أَظُنُّ أَن تَبِيدَ هَذِهِ أَبَدًا (ia berkata, “Aku kira tidak akan binasa) tidak akan lenyap (kebun ini untuk selama-lamanya).

Tafsir ibnu katsir: Firman-Nya: وَدَخَلَ جَنَّتَهُ وَهُوَ ظَالِمٌ لِّنَفْسِهِ (“Dan ia memasuki kebunnya sedang ia dhalim terhadapi dirinya sendiri.”) Yakni, dengan kekafiran, keingkaran, kesombongan, keengganan, serta penolakannya terhadap adanya hari Kiamat.

قَالَ مَا أَظُنُّ أَن تَبِيدَ هَذِهِ أَبَدًا (“Ia berkata: Aku kira kebun ini tidak akan binasa selama-lamanya.’”) Perkataan itu menunjukkan bahwa dirinya tertipu, karena ia menyaksikan dalam kebun tersebut berbagai tanaman, buah-buahan, pepohonan, dan sungai-sungai yang mengalir di sakelilingnya. Ia mengira bahwa kebun itu tidak akan hancur, rusak dan binasa.

Hal itu disebabkan oleh dangkalnya pemikiran dan lemahnya keyakinan kepada Allah, serta kebanggaan dirinya terhadap kehidupan dunia dan perhiasannya juga kekafirannya terhadap alam akhirat.

Oleh karena itu, ia berkata: مَا أَظُنُّ أَن تَبِيدَ هَذِهِ أَبَدًا (“Ia berkata: Aku kira kebun ini tidak akan binasa selama-lamanya.’”)”Yakni, tidak akan terjadi.

Tafsir Kemenag: Dalam ayat ini Allah swt menerangkan bahwa ketika dia memasuki kebunnya bersama saudaranya, dia mengatakan kepada saudaranya yang mukmin, sambil menunjuk kebunnya, bahwa kebun-kebun itu tidak akan binasa selama-lamanya.

Ada dua sebab yang mendorongnya berkata demikian:

Pertama: Kepercayaan penuh terhadap kemampuan tenaga manusia untuk memelihara kebun-kebun itu, sehingga selamat dari kebinasaan. Dengan kekayaan berupa mas dan perak sebagai modal, dan sumber daya manusia yang berpengalaman dan berpengetahuan tentang perawatan dan pemeliharaan tanaman dan kebun, dia percaya sanggup menjaga kelestarian, keindahan, dan kesuburan kebun dan tanamannya. Ia sama sekali tidak menyadari keterbatasan daya dan akal sehat manusia dan tidak percaya bahwa ada kekuatan gaib yang kuasa berbuat sesuatu terhadap segala kekayaan itu.

Kedua: Kepercayaan akan keabadian alam dan zaman serta ketidak-percayaan terhadap hari kiamat. Dia berkeyakinan bahwa segala yang ada ini kekal abadi. Tidak ada yang akan musnah dari alam ini, yang terjadi hanyalah perubahan dan pergantian menurut hukum yang berlaku. Air, tumbuh-tumbuhan, tanah dan lain-lainnya akan terus tersedia dan tidak akan ada putusnya.

Demikianlah pandangan pemilik kebun itu. Sesungguhnya dia telah berbuat zalim dan tidak jujur terhadap dirinya sendiri. Seharusnya dia bersyukur kepada Allah yang telah memberikan segala kenikmatan kepadanya. Tidak ada seorangpun yang hidup bahagia dalam dunia ini dengan hanya berdiri di atas kaki sendiri, tanpa bantuan atau kerjasama dengan orang lain.

Mengapa dia menyombongkan diri, padahal dia sebenarnya menyadarinya. Mengapa dia ingkar kepada Tuhan, padahal dia menyadari ikut terlibat dalam perubahan alam itu sendiri, mengapa dia tidak mau mengakui siapakah sebenarnya yang menciptakan semua perubahan dalam alam ini dan yang menciptakan hukum-hukumnya.

Baca Juga:  Surah Al-Kahfi Ayat 85-88; Terjemahan dan Tafsir Al-Qur'an

Mengapa dia tidak jujur terhadap pengakuan hati nuraninya sendiri akan adanya Tuhan Yang Maha Pencipta? Sesungguhnya sikap demikian merupakan kezaliman yang besar.

Surah Al-Kahfi Ayat 36
وَمَا أَظُنُّ السَّاعَةَ قَائِمَةً وَلَئِن رُّدِدتُّ إِلَى رَبِّي لَأَجِدَنَّ خَيْرًا مِّنْهَا مُنقَلَبًا

Terjemahan: dan aku tidak mengira hari kiamat itu akan datang, dan jika sekiranya aku kembalikan kepada Tuhanku, pasti aku akan mendapat tempat kembali yang lebih baik dari pada kebun-kebun itu”.

Tafsir Jalalain: وَمَا أَظُنُّ السَّاعَةَ قَائِمَةً وَلَئِن رُّدِدتُّ إِلَى رَبِّي (Dan aku tidak mengira hari kiamat itu akan datang, dan jika sekiranya aku dikembalikan kepada Rabbku) di akhirat kelak sebagaimana dugaanmu itu لَأَجِدَنَّ خَيْرًا مِّنْهَا مُنقَلَبًا (pasti aku akan mendapat tempat kembali yang lebih baik daripada kebun-kebun itu)” tempat tinggal yang lebih baik.

Tafsir ibnu katsir: وَلَئِن رُّدِدتُّ إِلَى رَبِّي لَأَجِدَنَّ خَيْرًا مِّنْهَا مُنقَلَبًا (“Dan jika sekiranya aku dikembalikan kepada Rabbku, pasti aku akan mendapat tempat kembali yang lebih baik daripada kebun-kebun itu.”) Maksudnya, seandainya tempat kembaliku kepada Allah Ta’ala, niscaya aku akan disediakan kebun di sisi Rabbku yang lebih baik dari kebun ini.

Dan kalau bukan karena kemuliaanku atas-Nya, niscaya Dia tidak akan memberiku semua ini. Sebagaimana Dia berfirman dalam ayat yang lain: “Dan jika aku dikembalikan kepada Rabbku, maka sesungguhnya Au akan memperoleh kebaikan di sisi-Nya.” (QS. Fushshilat: 50)

Tafsir Kemenag: Ayat ini mengungkapkan ucapan pemilik kebun itu kepada saudaranya yang mukmin tentang ketidakpercayaannya bahwa hari kiamat itu akan datang. Sekiranya hari kiamat itu datang dan dia dikembalikan kepada Tuhan, dia tentu akan kembali mendapatkan yang lebih baik daripada kebun-kebun yang dimilikinya di dunia ini.

Sikap pemilik kebun itu menunjukkan keingkaran akan adanya hari kiamat (hari akhir). Dugaannya bahwa akan mendapatkan kebun-kebun yang lebih baik daripada kebun-kebunnya di dunia ini pada hari kiamat didasarkan atas pengalamannya bahwa kedua kebun yang dimilikinya dan dipercayakan Tuhan kepadanya terus berbuah dan berkembang hanya karena kesanggupan dan usaha yang memilikinya.

Oleh karena itu, dimana dan kapan saja, kemusnahan itu selalu menyertainya. Allah swt menggambarkan pula sifat orang kafir ini dalam ayat yang lain dengan firman-Nya:

“?Dan jika aku dikembalikan kepada Tuhanku maka sesungguhnya aku akan memperoleh kebaikan di sisi-Nya…..” (Fushshilat/41: 50)

Ucapan yang membawa kepada kekafiran ialah: pertama, pengakuannya tentang keabadian alam; kedua, tentang tidak adanya kebangkitan manusia dari kubur; dan ketiga, anggapannya bahwa ganjaran di akhirat dicerminkan oleh keadaan di dunia. Pandangan terhadap keabadian alam ini meniadakan keputusan dan kehendak Tuhan Pencipta Alam.

Keingkarannya terhadap kebangkitan manusia dari kubur menunjukkan bahwa dia meniadakan kekuasaan Allah untuk mengembalikan manusia ke bentuk aslinya. Pandang-an bahwa ganjaran di akhirat dicerminkan oleh kehidupan dunia, misalnya bilamana seseorang di dunia hidup sebagai pemilik kebun, maka ganjaran di akhirat pun baginya sebagai pemilik kebun.

Ini adalah kepercayaan primitif, atau kepercayaan yang berdasarkan kebudayaan. Kepercayaan seperti itu berlawanan dengan agama yang bersumber pada wahyu Allah swt yang mempunyai kebijaksanaan dalam memberikan ganjaran kepada hamba-hamba-Nya.

Shadaqallahul ‘adzhim. Alhamdulillah, kita telah pelajari bersama kandungan Surah Al-Kahfi Ayat 32-36 berdasarkan Tafsir Jalalain, Tafsir Ibnu Katsir dan Tafsir Kemenag. Semoga menambah khazanah ilmu Al-Qur’an kita.

M Resky S