Mengenal Istilah Bawadih, Hujum, Talwin dan Tamkin dalam Dunia Sufi

Mengenal Istilah Bawadih, Hujum, Talwin dan Tamkin dalam Dunia Sufi

Pecihitam.org- Tasawuf adalah kajian rohaniah yang misterius, terdapat pengalaman rohaniyah yang dikemas dalam istilah-istilahnya, diantaranya adalah Bawadih, Hujum, Talwin dan Tamkin.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Bawadih adalah sesuatu yang secara tiba-tiba mendatangi hatimu dari alam gaib melalui jalan rasa yang amat menegangkan. Ada kalanya berupa dorongan rasa senang atau sedih.

Sedangkan hujum adalah sesuatu yang mendatangi hatimu dengan kekuatan waktu melalui jalan yang tidak dibuat-buat dari dirimu. Macam-macamnya berbeda-beda menurut kuat lemahnya warid (rasa yang datang atau pengaruh rasa dalam hati).

Di antara hujum mereka ada yang bawadih-nya berubah-ubah dan begitu juga hujum-nya. Ada pula yang berada di atas sesuatu yang amat mengejutkan yang sifatnya spontan dan kuat. Mereka adalah tuan-tuan penghulu kaum.

Sebagaimana dikatakan dalam syair: “janganlah engkau memberi petunjuk pengganti zaman kepada mereka (sebab) mereka memiliki kendali atas setiap ucapan yang agung.”

Talwin adalah sifat pemilik ahwal (salik yang masih terpenga­ruh dengan keadan, pengaruh-pengaruh batin atau kondisi­-kondisi yang menguasai jiwanya). Sedangkan tamkin adalah sifat orang-orang ahli hakikat.

Selama salik masih berada di jalan (tang­ga-tangga penapakan menuju ketinggian rohani), dia adalah pe­milik talwin karena keberadaannya masih dalam proses penapak­an dari satu hal (ahwal) ke hal yang lain, berpindah dari satu sifat ke sifat yang lain, dan keluar dari satu lingkaran “terminal” kelingkaran “terminal” yang lain hingga menuju tempat kediaman rriusim semi. Jika sampai, maka salik telah mencapai maqam tamkin.

Baca Juga:  Bidayah dan Nihayah dalam Perjalanan Sufistik Menuju Makrifat

Sebagian guru sufi mengatakan, “Perjalanan salik berhenti hingga pada penguasaan nafsunya. Jika telah mampu mencengkram nafsunya, maka dia telah sampai.

Abu Ali Ad-Daqaq berkata, “Yang di­maksud dengan tamkin adalah pengakhiran dan pembelakangan hukum-hukum kemanusiaan dan penguasaan penguasa hakikat. Jika keadaan ini selamanya menjadi milik salik, berarti dia telah mencapai maqam tamkin.”

Abu Ali Ad-Daqaq berkata, “Musa AS adalah Nabi pemilik talwin, lalu kembali dari penyimakan kalam (saat diajak dialog dengan Allah) dan butuh penutup wajah ketika keadaan ini mempengaruhinya. Nabi Muhammad SAW adalah pemilik tamkin. Beliau kembali sebagaimana perginya karena apa-apa yang disaksikannya di malam itu (peristiwa-peristiwa luar biasa di malam isra’ dan mi’raj) tidak berpengaruh baginya. Bukti lain dari bab ini adalah kisah Nabi Yusuf AS, Ketika para wanita bangsawan Mesir melihat Yusuf AS, mereka memotong jari-jari tangan mereka, yaitu pada saat sesuatu yang amat mengejutkan datang kepada mereka berupa kenyataan bentuk Yusuf AS yang sangat menawan. Dan yang paling terpengaruh dengan daya pesona ini adalah permaisuri raja. Keterpengaruhannya itu tidak berubah (tidak hilang) dari hatinya karena dia adalah wanita yang mengalami tamkin dalam peristiwa Yusuf  AS.”

Abu Ali Ad-Daqaq juga menyampaikan, “Sesungguhnya perubahan sebab sesuatu yang mendatangi salik terjadi karena salah satu dari dua hal: ada kalanya karena kuatnya warid atau lemahnya salik. Sedangkan kediaman (kestabilan tamkin atau konstanitas, batin) juga terjadi karena salah satu dari dua hal: mungkin karena kuatnya salik atau lemahnya warid yang mendatanginya.”

Abu Ali Ad-Daqaq menambahkan dalam perkataannya, “Dasar-dasar kaum dalam kebolehan (menempati) keber­adaan keabadian tamkin keluar di atas dua visi. Salah satunya merupakan sesuatu yang tidak ada jalan menuju ke sana.”

Sebagai­mana yang tergambar dalam sabda Nabi Muhammad SAW: “Seandainya kalian tetap berada di atas sesuatu yang kalian di atasnya terletak di sisiku, tentu para malaikat berjabat tangan denganmu.”

Salik selama masih dalam proses penapakan, dia adalah pemilik talwin yang (menjadikan dirinya) sah dalam (perolehan) tambah kurangnya sifat dalam ahwalnya.

Baca Juga:  Sejarah Tarekat Syattariyah; Dari India hingga ke Nusantara

Jika telah sampai pada Al- Haqq dengan membelakangi hukum-hukum kemanusiaan (bersifat kemakhlukan, bukan ketuhanan), maka Al-Haqq pasti mendudukkannya (meletakkan pada maqam tamkin) dengan tidak mengembalikannya pada penyakit-penyakit nafsu (tidak terasa sakit dengan ketiadaan ketundukan diri pada per­mintaan nafsu).

Dalam posisi demikian, dia adalah pemilik tamkin (salik yang jiwanya sudah stabil bersama Allah) menurut kadar keadaan dan haknya. Kemudian apa yang dihadiahkan Al-Haqq dalam keseluruhan jiwa, maka tidak ada batas bagi perkara yang telah ditentukan. Dia selalu dalam tambahan yang menjadikannya berubah-ubah, bahkan berwarna-warna.

Dalam keaslian keadaannya sebenarnya dia adalah tamkin. Dia selamanya menjadi tamkin dalam keadaan yang semakin lebih tinggi daripada keadaan sebelumnya. Kemudian naik lagi hingga mencapai puncak di atas semua puncak. Dalam kondisi demikian bagi ketentuan Al-Haqq tidak ada garis finis.

Baca Juga:  Zuhud yang Sebenarnya, “Hanya Orang Bodoh dan Gila yang Tidak Ingin Kaya”

Adapun orang yang tercabut dari kesaksian yang keselu­ruhan rasanya ikut terambil secara penuh, maka bagi sifat kemanusiaan tidak ada tempat pembatas.

Jika batal keseluruhan diri, jiwa, dan rasanya serta ketentuan-ketentuan Tuhan yang telah ditetapkan, kemudian kegaiban (keadaan kosong, gaib atau ketiadaan diri dalam arti kemakhlukan) ini berlangsung dalam kurun waktu yang tidak terbatas, maka dia menjadi hilang atau hapus.

Kondisi demikian menjadikan dirinya tidak punya tamkin, talwin, maqam, dan bal. Jika sifat ini selamanya integral dengan dirinya, maka tidak ada bimbingan (proses penyadaran) dan pembebanan hukum (sebagai pelaku hukum). Demikian itu me­rupakan aktivitas aktif dalam persangkaan buruk makhluk yang hakikatnya adalah peran otoritas aktivitas aktif Al-Haqq.

Mochamad Ari Irawan