Qarbu dan Bu’du, Jauhkan Dirimu dari Duniawi Agar Bisa Lebih Dekat dengan Tuhan

Qarbu dan Bu’du, Jauhkan Dirimu dari Duniawi Agar Bisa Lebih Dekat dengan Tuhan

Pecihitam.org- Dalam tasawuf, Qarbu dan Bu’du memiliki tingkatan yang berbeda-beda. Awal tingkatan dalam qarbu (kedekatan) adalah kedekatan dari sikap taat dan menetapi semua waktu yang diisi dengan ibadah-ibadah wajib. Adapun bu’du (jauh) adalah kekotoran diri sebab penentangan dan menyimpang dari ketaatan.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Tingkatan pertama bu’du adalah jauh dari taufik, kemudian jauh dari hakikat, bahkan jauh dari taufik aslinya adalah jauh dari hakikat (kebenaran yang maka benar).

Rasulullah SAW bersabda tentang Al-Haqq: “Tidaklah mendekat kepada-Ku orang-orang yang berusaha mendekat hanya dengan sebatas pelaksanaan apa-apa yang Saya wajibkan. Hamba selalu mendekat kepada-Ku dengan amalan-amalan sunah hingga mencintai-Ku dan Saya mencintai­nya. Jika Saya mencintainya, maka Saya baginya adalah pende­ngaran dan penglihatan. Dengan Saya dia melihat dan dengan Saya dia mendengar.“

Dekatnya salik pertama kali dengan keimanan dan pembenarannya, kemudian dengan kebagusan dan hakikatnya. Kedekatan Al-Haqq terhadap apa yang dikhusus­kan-Nya sekarang merupakan kebajikan, sedangkan apa yang dimuliakan-Nya di akhirat merupakan kesaksian dan ketampakan. Di antara hal-hal tersebut keberadaannya Nadir dengan wajah luthfi (kelembutan Tuhan) dan anugerah.

Baca Juga:  Bukan Jumat, Ternyata Inilah Hari yang Paling Utama bagi Seorang Muslim

Kedekatan seorang hamba dengan Al-Haqq tidak akan terjadi kecuali dengan kejauhannya dari makhluk, dan ini merupakan sifat-sifat hati, bukan hukum-hukum (yang berlaku bagi) fenome­na kehidupan dan alam.

Kedekatan AI-Haqq dengan ilmu dan kemampuan adalah umum bagi manusia yang berkemampuan; dengan kelembutan (dalam hal ilmu dan rasa) dan pertolongan adalah khusus bagi orang mukmin; kemudian dengan kekhususan kelembutan yang sangat lembut (juga dalam hal ilmu dan rasa) adalah khusus bagi wali Allah.

Hal tersebut tergambar dalam beberapa firman-Nya berikut ini:

“Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat leher.” (QS. Qaf: 16). “Dan Karni lebih dekat kepadanya daripada mereka.” (QS. Al-Waqi’ah: 85). “Dan Dia bersamamu di mana pun kamu berada.” (QS. Al-Hadid: 4). “Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang melainkan Dialah yang keempatnya.” (QS. Al-Mujadalah: 7).

Barangsiapa benar-benar dekat dengan AI-Haqq, maka dia didekatkan-Nya dalam keabadian muraqabahnya (kesadaran diri akan kehadiran Tuhan dalam peran aktivitas pengawasan, pendeteksian, pengendalian, dan pemberian hidayah) di hadapan-Nya karena Dia terhadapnya adalah Peneliti ketaqwaan, kemudian menginjak sebagai Peneliti pemeliharan dan pemenuhan, dan akhimya sebagai Peneliti rasa malu.

Baca Juga:  Gagasan Mistik dan Filsafat dalam Pemikiran Ibn Arabi

Dalam suatu kisah diceritakan bahwa seorang guru sufi mengistimewakan salah seorang muridnya karena suatu hal. Dia memiliki suatu kelebihan yang tidak dimiliki teman-teman lainnya. Kelebihan ini bermula dari keberhasilannya memahami perintah gurunya.

Suatu ketika guru sufi ini memberi seekor bu­rung kepada setiap muridnya sambil berpesan, “Sembelihlah burung ini di tempat yang sekiranya tidak dilihat oleh siapapun.” Kemudian masing-masing murid pergi mencari tempat yang sekiranya sepi dan menyembelih burung yang dipegangnya.

Na­mun, seorang di antara mereka datang menghadap gurunya dengan membawa burung yang masih belum disembelih. Guru­nya pun lantas bertanya mengapa tidak disembelih. Lalu Dijawab olehnya :

“Guru memerintahkan saya untuk menyembelihnya di tem­pat yang sekiranya tidak diketahui oleh siapapun, dan ternyata tidak ada tempat sebab AI-Haqq (Allah SWT) selalu melihatnya.” “Karena inilah saya memerintahkan kalian,” jelas sang guru. “Kalian masih dikalahkan oleh kejadian-kejadian atau bisikan-­bisikan yang bersifat kemakhluk (indrawi), sedangkan pemuda ini tidak lupa terhadap kesenantiasaan kehadiran Al-Haqq, dan penglihatan kedekatan adalah hijab dari kedekatan.”

Barangsiapa sadar dengan penuh kesadaran (kesaksian yang nyata atau syuhud) akan keberadaan dirinya yang (merasa) memi­liki maha (tempat atau masa yang menunjukkan keadaan) dan jiwa, maka dia hakikatnya tertipu dengannya. Karena itu, para ahli sufi mengatakan, “Allah melepaskanmu dari kedekatan­Nya.”

Artinya, dari (perasaan) kesaksianmu (syuhud) akan kehadiran-Nya karena kedekatan-Nya. sesungguhnya rasa cinta kasih yang sungguh-sungguh dengan kedekatan-Nya merupakan bagian dari ketinggian kemurahannya dengan-Nya karena AI-Haqq hakikat-Nya di belakang semua yang bersifat cinta kasih yang sejati, dan maqam-maqam hakikat mengharuskan kemun­culan rasa bingung dan dan sirna.

Baca Juga:  Takhalli Tahalli dan Tajalli dalam Konsep Tasawwuf Imam Al-Ghazali
Mochamad Ari Irawan