Bagaimana Hukum Melakukan Praktik Arisan Dalam Islam?

Bagaimana Hukum Melakukan Praktik Arisan Dalam Islam?

PeciHitam.org – Sebelum membahas arisan dalam Islam, arisan memang telah menjadi bagian dari budaya Indonesia dan diartikan sebagai pengumpulan uang ataupun barang yang bernilai sama oleh beberapa tau sekumpulan orang yang kemudian diundi diantara mereka yang mana dilaksanakan secara berkala sampai semua anggota memperolehnya. (Lihat: KBBI, Wjs. Poerwadarminta, 1976)

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Arisan dalam islam dianggap sebagai salah satu cara untuk menabung dan memanfaatkan perputaran uang. Selain itu, arisan juga dianggap memberikan keuntungan jika dia mendapat undian sesuai dengan waktu yang tepat.

Hukum arisan secara umum digolongkan termasuk dalam muamalat yang belum pernah dijelaskan secara rinci dalam Al-Qur’an maupun Sunnah secara langsung, yang mana hukumnya dikembalikan kepada hukum asal dari muamalah yaitu dibolehkan.

Tentang arisan para ulama menjelaskan hal tersebut dengan mengemukakan yaitu:

الأصل في العقود والمعاملات الحل و الجواز

Artinya: “Pada dasarnya hukum transaksi dan muamalah itu ialah halal dan boleh.” (Lihat: Al-Muamalah Al-Maliyah Al-Mua’shirah fi Dhaui Al-Islam, Sa’dudin Muhammad al Kibyi, Beirut, 2002)

Ibnu Taimiyah menjelaskan yang atinya:

“Tidak boleh mengharamkan muamalah yang dibutuhkan manusia sekarang, kecuali kalau ada dalil dari AlQur’an dan Sunnah tentang pengharamannya.” (Lihat: Majmu’ al-Fatawa, 29:18, Ibnu Taimiyah)

Para ulama tersebut melandaskan berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah sebagaimana yang firman Allah SWT:

Baca Juga:  Ini Larangan Korupsi dan Suap-Menyuap dalam Kisah Nabi Muhammad SAW

هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُم مَّا فِي الأَرْضِ جَمِيعاً

Artinya: “Dialah Dzat yang menjadikan untuk kamu apa-apa yang ada di bumi ini semuanya.” (QS. Al-Baqarah, 2:29)

Dalam ayat lain dijelaskan pula:

أَلَمْ تَرَوْا أَنَّ اللَّهَ سَخَّرَ لَكُم مَّا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَأَسْبَغَ عَلَيْكُمْ نِعَمَهُ ظَاهِرَةً وَبَاطِنَةً

Artinya: “Tidakkah kamu perhatikan bahwa sesungguhnya Allah telah memudahkan untuk kamu apa-apa yang ada di langit dan apa-apa yang ada di bumi dan Ia (Allah) telah sempurnakan untuk kamu nikmat-Nya yang nampak maupun yang tidak nampak.” (QS. Luqman, 31:20)

Adapun kedua ayat tersebut menjelaskan bahwa Allah SWT memberikan semua yang ada di muka bumi untuk kepentingan manusia dimana para ulama menyebutnya dengan istilah “Al-Imtinan” atau pemberian.

Karenanya segala sesuatu yang berhubungan dengan muamalat asal hukumnya ialah mubah atau boleh kecuali ada dalil yang menyebutkan tentang keharamannya. (Lihat: Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an, Al-Qurtubi, Beirut, 1993)

Jadi tentang arisan tidak didapatkan dalilnya baik dari Al-Qur’an maupun dari Sunnah yang melarangnya maka berarti hukumnya mubah atau boleh.

Abu Darda’ ra, menjelaskan bahwa Rasulullah SAW bersabda:

ما أحل الله في كتابه فهو حلال وما حرم فهو حرام وما سكت عنه فهو عفو فاقبلوا من الله عافيته فإن الله لم يكن لينسى شيئاً وتلا قوله تعالى 🙁 وَمَا كَانَ رَبُّكَ نَسِيًّا ) سورة مريم الآية 64

Baca Juga:  Inilah Adab Bertetangga Menurut Imam Al Ghazali

Artinya: “Apa yang dihalalkan Allah di dalam kitab-Nya maka hukumnya halal dan apa yang diharamkannya maka hukumnya haram, adapun sesuatu yang tidak dibicarakannya maka dianggap sesuatu pemberian maka terimalah pemberiannya, karena Allah tidaklah lupa terhadap sesuatu, kemudian Beliau membaca firman Allah SWT, ‘Dan tidaklah sekali-kali Rabb-mu itu lupa’ (QS. Maryam: 64).” (HR. al-Hakim oleh Imam Adz Dzahabi)

Di dalam hadist tersebut secara jelas disebutkan bahwa sesuatu dalam muamalah yang belum pernah disinggung oleh Al-Qur’an dan Sunnah maka hukumnya ialah “afwun” atau pemberian dari Allah SWT dan sesuatu yang boleh.

Allah SWT berfirman:

وَتَعَاوَنُواْ عَلَى الْبرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُواْ عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ

Artinya: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (QS. Al-Maidah, 5:2)

Pada ayat di atas menjelaskan perintahkan untuk saling tolong-menolong dalam kebaikan yang mana sesuai tujuan arisan sendiri yaitu menolong orang yang membutuhkan dengan cara iuran secara rutin dan bergiliran jadi termasuk tolong-menolong yang diperintahkan oleh Allah SWT.

Dalam sebuah hadits Aisyah ra, berkata:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا خَرَجَ أَقْرَعَ بَيْنَ نِسَائِهِ فَطَارَتْ الْقُرْعَةُ عَلَى عَائِشَةَ وَحَفْصَةَ فَخَرَجَتَا مَعَهُ جَمِيعًا

Baca Juga:  Bagaimana Hukumnya Aqiqah? Ini Penjelasannya

Artinya: “Saat Rasullulah SAW ketika pergi, Beliau mengadakan undian di antara istri-istrinya lalu jatuhlah undian itu pada Aisyah dan Hafsah maka kami pun bersama beliau.” (HR. Muslim: 4477)

Hadist tersebut menunjukkan bahwa boleh untuk melakukan undian dan tentunya yang tidak mengandung perjudian atau riba, maka ketika dalam arisan terdapat undian yang tidak mengandung perjudian atau riba, maka hukumnya boleh.

Adapun para ulama berpendapat tentang diperbolehkannya arisan yaitu pendapat Syekh Ibnu Jibrin dan Syekh Ibnu Utsaimin serta para ulama senior Saudi Arabia. (Lihat: Al-Mua’amalah Al-Maliyah Al-Mu’ashirah, Dr. Khalid bin Ali Al Musyaiqih)

Adapun Syekh Ibnu Utsaimin berkata yang artinya:

“Arisan hukumnya ialah boleh dan tidak terlarang, barang siapa mengira bahwa arisan termasuk kategori memberikan pinjaman dengan mengambil manfaat maka anggapan tersebut merupakan keliru sebab semua anggota arisan akan mendapatkan bagiannya sesuai dengan gilirannya masing-masing.” (Lihat: Riyadhus Sholihin, Ibnu Utsaimin, 1:838)

Demikianlah hukum arisan dalam Islam secara umum yaitu boleh, akan tetapi ada beberapa bentuk arisan yang diharamkan yaitu jika arisan dilakukan untuk ajang pamer dan riya’ yang mana digunakannya untuk meninggikan status sosial seseorang yang mana dapat memicu keretakan sosial.

Mochamad Ari Irawan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *